Tuesday, November 17, 2009

Kecukupan Kristus

Galatia 3:1-6

Kita telah melihat permasalahan di dalam jemaat Galatia ini. Inilah salah satu surat Paulus yang paling emosional dan keras. Tidak sembarangan dia melontarkan perkataan yang keras. Surat ini dimulai dengan salam dan pemaparan narasi yang mengisahkan bagaimana Tuhan memanggil dia, dan pemanggilan Tuhan adalah otoritas tertinggi. Hal ini dinyatakannya langsung sebagai provokasi untuk orang-orang dengan tujuan agar mereka mengakui kerasulannya dan tentu dengan demikian Injil yang dibawa oleh Paulus juga diterima oleh mereka. Pada waktu itu mereka telah dikacaukan oleh orang-orang yang disebut sebagai Judaizers, yang menyatakan bahwa iman dalam Kristus Yesus perlu ditambahkan dengan menjalankan syariat Taurat, pada kasus ini dengan disunatkan. Orang-orang Kristen Yahudi secara khusus di Yerusalem banyak mengalami penganiayaan oleh kaum Zealot yang ekstrim, mereka dianggap sebagai pengkhianat karena telah bersekutu dengan orang-orang tidak bersunat. Kaum Zealot merasa sangat marah dan kecewa karena beberapa pemimpin penting dalam gerakan mereka dibunuh oleh pemerintah Romawi; mereka tidak memiliki kuasa untuk membalaskan sakit hati mereka terhadap kekaisaran Romawi karena Romawi terlalu kuat; dalam kondisi demikian mereka menumpahkan amarah mereka kepada orang-orang Kristen Yahudi yang dianggap pengkhianat karena bergaul bahkan duduk makan bersama dengan orang-orang Kristen yang bukan Yahudi dan tidak bersunat. Dalam kondisi seperti ini maka desakan bagi saudara-saudara Kristen non Yahudi untuk disunatkan semakin besar; mereka cenderung untuk mencari aman dengan menyuruh orang-orang Kristen non Yahudi untuk disunat sehingga mereka tidak lagi dianggap berkhianat dengan bergaul dengan orang-orang yang tidak bersunat. Disini kita melihat aroma politis yang kental; penyunatan akan banyak memudahkan orang-orang Kristen Yahudi karena hal itu membuat mereka terhindar dari persekutuan dengan orang tidak bersunat yang bisa membangkitkan amarah orang-orang Zealot. Sayangnya masalah politis ini merembet kepada masalah teologis. Mereka harus disunat karena karya Yesus Krisus dianggap kurang cukup. Kita melihat pergerakan disini, urusan politis akhirnya merembet kepada urusan agama, dan agama ini sering menjadi kendaraan yang sangat ampuh. Pendeta-pendeta bisa membawa alasan agama untuk mengeruk keuntungan bagi dirinya sendiri. John Piper, menanggapi teologi sukses, sangat mengecam pengkhotbah yang memberitakan teologi kemakmuran (prosperity gospel). Dengan memakai alasan agama, berbicara bahwa mengikut Tuhan pasti kaya dia bisa mengeruk banyak persembahan untuk dirinya sendiri. Seorang pendeta mengunjungi suatu daerah miskin, datang dengan pesawat dan berkhotbah diantara begitu banyak orang miskin, dengan memakai argumentasi religius bahwa mengikut Yesus akan menjadi kaya, dia mengeruk banyak persembahan, setelah itu dia pulang dengan pesawat dan meninggalkan ribuan orang tetap miskin dan semakin sengsara karena pengharapan palsu yang tidak pernah menjadi kenyataan.

Paulus sangat menyadari kekuatan dorongan religi ini; dia bukan seorang yang kaku, namun ketika hal itu pada akhirnya menyentuh pada ajaran yang sangat mendasar maka dia marah dengan sangat keras. Ketika John Tetzel menjual surat penghapusan hutang, hal besar yang ada dalam kepalanya adalah bahwa basilika Santo Petrus perlu uang agar dapat dibangun. Untuk meminta sumbangan dari rakyat Jerman yang sudah sangat miskin tentu sangat susah, hal yang paling mudah untuk dilakukan adalah dengan memakai ketakutan mereka akan api neraka; dengan dramatisasi sedemikian rupa, Tetzel menakut-nakuti mereka akan penghukuman neraka yang sangat mengerikan sehingga merekapun membeli surat penghapusan dosa. Karena urusannya menyangkut pada dasar teologi dan Injil yang murni maka seorang pemuda bernama Martin Luther menjadi begitu gusar, hal tersebut membuatnya bangkit melawan segala ketakutan dalam dirinya sehingga dengan sangat berani dia melawan kekuasaaan Katolik Roma yang begitu besar. Sekali lagi saya ingin tekankan, Injil disini menjadi poin konfrontasi. Ketika Paulus berkata bahwa dia memberitakan Injil yang ini dan bukan yang itu, dia mengatakan bahwa Injil ini bertentangan dengan injil yang dipegang oleh para Judaizers. Ada poin konfrontasi, ketika orang-orang Yahudi Kristen berusaha untuk mencari aman dengan menyuruh orang Kristen non Yahudi untuk disunat, Paulus sebaliknya mengatakan bahwa bila mereka disunat maka Kristus menjadi tidak berguna bagi mereka (5:2). Ini konfrontasi terang-terangan yang berpotensi membawa dampak yang langsung. Jemaat Galatia mungkin tidak mengalami penganiayaan, sebagian besar mereka adalah orang non Yahudi, mereka tidak mengalami penganiayaan dari kaum Zealot. Yang dianiaya adalah orang-orang Yahudi yang bergaul dengan orang kafir (non Yahudi yang tidak disunat), apalagi sampai duduk makan bersama dengan mereka. Yang sangat menarik adalah ancaman itu sebenarnya lebih mengarah kepada Paulus ketimbang kepada jemaat sendiri. Dengan mereka disunat, sebenarnya akan lebih aman bagi Paulus karena dia bergaul dengan orang bersunat sehingga dia tidak mendapat masalah dengan orang Zealot. Namun demikian Paulus menentang dengan keras. Keamanan dirinya bukan menjadi prioritas bagi Paulus, dia benar-benar tahu apa yang harus menjadi prioritas dirinya. Sering kali dalam hidup kita, kita tidak peka terhadap prioritas hidup kita, kita lebih condong memilih aman ketimbang menegakkan kebenaran. Ada waktunya bagi kita dimana konfrontasi tidak bisa lagi dihindarkan karena hal itu menyangkut iman kita yang paling mendasar. Kita mungkin tidak berhadapan dengan orang Zealot yang mengancam keselamatan fisik kita, namun zaman sekarang penganiayaan bisa beragam sekali bentuknya. Mungkin penganiayaan akademis, dengan berhadapan dengan orang-orang liberal yang mengusik iman akan keilahian Kristus dan ketika kita percaya kita dianggap tolol dsb. ataupun penganiayaan ekonomi, dalam bentuk positif (iming-iming tertentu) atau negatif (ancaman); kita dituntut untuk menyuap demi keuntungan dsb. ketika kita tegas dalam iman kita maka ada harga yang harus dibayar, terutama ketika hal itu menyangkut iman yang mendasar, kita tidak bisa mengkompromikannya lagi.

Pokok persoalan yang dialami oleh Martin Luther dalam hal ini sangat mirip dengan apa yang dialami oleh Paulus. Inti Injil sedang digoyang. Hai, pernyataan vokatif dalam bahasa Yunani yang menyangkut seruan yang melibatkan emosi. LAI menerjemahkan huruf Yunani Omega dengan sangat baik. Kata Hai memberikan kesan sapaan yang dekat dan emosional. Gembala jemaat yang baik memberikan dirinya untuk benar-benar terlibat secara utuh dengan jemaatnya. Bila hamba Tuhan hanya melihat penggilannya sebagai orator Firman; khotbah mungkin baik, eksegesis bertanggung jawab namun tidak memiliki hati yang berpaut pada jemaatnya ini tidak cukup. Hamba Tuhan tidak dipanggil untuk menunjukkan performa untuk menjadi badut penghibur yang berlagak diatas panggung yang mana panggungnya adalah mimbar; namun hamba Tuhan meresponi panggilan Tuhan untuk berfokus kepada jemaat yang akan dilayani. Tuhan Yesus berkata lihat ladang sudah menguning, siapa yang mau menjadi penuai; ini bukan sekedar urusan pekerjaan tuai menuai, namun ada fokus kepada ladang tersebut sendiri. Dalam seruannya Paulus menyatakan bahwa orang Galatia ini bodoh, bodoh disini seperti yang dianjurkan oleh Ben Witherington III yang mengutip Bruce Malina, bukan sekedar kekuarangan IQ namun berkaitan dengan konteks Mediterania abad pertama, bodoh menyangkut ketidak mampuan untuk mengerti social boundary. Mereka ada di dalam boundary Kristus namun mereka mulai masuk kepada boundary hukum Taurat. Ini adalah suatu kesalahan yang harus dibenahi. Dunia memiliki kriteria pintar bodoh hanya berkaitan dengan pencapaian akademis, atau yang lebih parah, pintar atau bodoh diukur dari kemampuan seorang memperoleh uang. Dunia kita saat ini memang sudah rusak. Disini Paulus mengatakan mereka bodoh karena mereka tidak mengerti bahwa mereka semestinya telah berada di dalam ikatan dengan Kristus bukan dalam ikatan peraturan Taurat.

Siapa yang telah mempesonakan kamu??? Kata ini bukan bernuansa mempesona yang positif, namun lebih berarti memperdaya atau menyihir. Kata baskaino lebih berkait dengan tindakan menyihir yang negatif. Paulus mengaitkan pekerjaan Judaizers itu dengan tindakan sihir; bukan berarti bahwa jemaat ini terhipnotis namun mereka benar-benar terperdaya ketika mengikuti amaran para Judaizers itu. Kristus yang dilukiskan memakai terminologi yang mirip dengan pemaparan sebuah lukisan yang sangat jelas. Besar kemungkinan hal ini menujukkan bagaimana Paulus telah memaparkan Kristus yang disalibkan tersebut. Satu hal yang begitu menarik adalah bahwa Paulus sangat mengenal siapa Kristus itu, sehingga dia bisa melukiskan-Nya dengan begitu jelas. Beranikah kita berkata demikian terhadap orang-orang yang kita Injili, yaitu bahwa kita telah melukiskan Kristus dengan sangat jelas; jangan-jangan kitapun kurang mengenal Dia sehingga kita juga tidak memiliki gairah yang besar untuk menceritakannya kepada orang lain. Bila kita mengenal dengan jelas Kristus yang disalibkan, kita terpesona oleh keagungan-Nya, bisakah kita berdiam dan tidak menceritakannya??? Paulus pernah mengatakan bahwa aku tahu siapa yang kupercaya, mari kita belajar untuk mengenal Tuhan kita yang telah menyatakan keagungan-Nya di dalam Kristus Yesus.

Paulus mengatakan mengenai Kristus yang disalibkan, ini sangat khas dalam teologi paulus. Ketika berhadapan deengan jemaat Korintus yang saling meninggikan diri dia menyatakan Kristus yang disalibkan untuk menunjukkan bahwa Kristus mengenakan kehinaan yang dalam; kepada jemaat yang dianiaya dia menunjukkan Kristus yang disalibkan untuk memberikan penghiburan dan kekuatan; dan kepada jemaat Galatia yang sedang diracuni oleh ajaran sesat, Paulus melukiskan Kristus yang disalibkan sebagai Dia yang telah menggenapkan segala tuntutan Bapa. Disini kita melihat suatu kelincahan yang begitu luar biasa dari seorang yang begitu mengenal Tuhan. Paulus begitu mengenal Tuhannya, dan pengenalan akan Kristus tersebut tidak terkunci pada proposisi yang mentah ataupun aplikasi yang sempit, namun Kristus yang disalibkan tersebut benar-benar dihidupi dalam diri Paulus sehingga disini dia dengan begitu lugas menyatakan supremasi Kristus yang sudah disalibkan tersebut tidak perlu ditambahkan apa-apa lagi. Satu hal yang harus kita perhatikan, yaitu bahwa bila Kristus yang disalibkan tersebut telah dilukiskan dengan jelas, dan mereka masih berani meragukan kecukupan-Nya dan mengikuti injil yang lain (dari para Judaizers) maka dosa mereka sungguh sangat berat. Bagi setiap kita yang telah banyak menerima ajaran yang baik, mengikuti banyak pembinaan, namun masih bisa berkompromi dengan kebenaran, kita akan dituntut dengan sangat berat.

Kini pembicaraan beralih menuju kepada melakukan Taurat dan mendengar Injil. Menerima Roh disini berkaitan erat dengan menjadi Kristen, jadi kita tidak perlu menekankan pada fenomena-fenomena ganjil seperti berbahasa lidah dsb. Mengutip James Dunn, Witherington III menyatakan bahwa frasa menerima Roh adalah frasa teknis bagi orang-orang Kristen mula-mula untuk menyatakan tentang pertobatan (Rm 8:15; 1 Kor 2:12; 2 Kor 11:4; Gal 3:14; Kis 2:38; 10:47; 19:2). Jadi bagaimana mereka menerima Roh tersebut??? Ini bukan pertanyaan yang mana Paulus ingin mendapatkan jawaban dari mereka, Paulus menggunakan pertanyaan ini untuk menyadarkan mereka. Sebagian besar dari jemaat ini sekali lagi adalah orang-orang bukan Yahudi, sehingga mereka memang bukanlah pelaku Taurat, memiliki Tauratpun tidak, sehingga tentu mereka bertobat atau menerima Roh karena percaya kepada Injil. Paulus kembali memberikan pertanyaan ironi “sia-siakah itu semua???” Sekali lagi Paulus bukan ingin mendapatkan jawaban namun dia menggiring pendengarnya untuk menyatakan bahwa tidak boleh menjadi sia-sia. Pada ayat 5 diulang pertanyaan apakah mereka menerima Roh, dan kini ditambah dengan banyak mujizat karena mereka telah melakukan Taurat atau karena Injil. Bagian ini diperkuat dengan pernyataan mengenai Abraham yang percaya dan dianggap benar. Argumentasi mengenai Abraham ini sangat kuat. Abraham adalah orang yang sangat dipandang dalam budaya dan agama Yahudi. Tanda perjanjian sunat juga pada awalnya diberikan Tuhan dalam perjanjian-Nya dengan Abraham (Kej 17:9-14). Jadi sekarang kita harusnya bisa mengerti bahwa argumentasi para Judaizers (yang sangat memandang pada Abraham) untuk menyuruh mereka untuk disunat (sementara Abraham pun dibenarkan karena percaya dan bukan karena sunat), sangatlah salah. Kita melihat betapa mengagumkannya argumentasi Paulus disini. Dan kita melihat bahwa argumentasi yang sedemikian diberikan Paulus bukan demi memenangkan sebuah perdebatan teologis demi menaikkan pamornya, namun semata-mata karena cintanya kepada Kristus dan jemaat-Nya, dia harus memberitakan Injil yang benar. Karya Kristus Yesus adalah cukup dan genap, tidak perlu lagi ditambah dengan sunat ataupun hal yang lain. Kita diterima oleh Tuhan bukan karena kita lihai berkhotbah, banyak memberikan persembahan, sering main piano di gereja, atau sangat rajin pelayanan di PRII BSD; namun semata-mata karena karya Kristus Yesus Tuhan kita.

Mari kita yang telah mengenal Dia, melihat kecukupan Kristus yang disalibkan itu, dalam syukur yang tak terbendung, membaktikan seluruh hidup kita hanya bagi Dia dalam setiap segi hidup yang Dia percayakan kepada kita. Dalam rumah tangga, dalam gereja, sekolah, tempat bekerja, lingkungan kita dsb. Kita rindu untuk berbakti secara penuh kepada Dia. Dengan rendah hati kita panjatkan doa kita: Bapa, Engkau telah menerima kami di dalam Kristus Yesus yang disalibkan... kasihanilah kami, bangkitkan hasrat syukur kami agar kepada-Mu kami mengabdi sepanjang umur kami, demi Kristus Yesus yang disalibkan kami pintakan doa kami ini...

GOD be praised!!!



Pelajaran dari kisah Yosia dalam Tawarikh

2 Tawarikh 34-35

Penulis kitab Tawarikh, lewat penuturan kisah-kisahnya ingin menyaksikan bagaimana Kerajaan Allah dinyatakan. Kitab Tawarikh ini ditulis kepada bangsa yang begitu desperate, sebuah bangsa yang lebih mirip sekumpulan orang yang mengalami kekecewaan besar karena pengharapan besar yang meleset. Dengan demikian kita bisa mengerti bila kitab ini memang ditulis untuk memberikan penghiburan dan dorongan. Kondisi mereka pada waktu itu benar-benar berada pada titik yang sangat rendah. Kitab ini ditulis untuk mereka yang kembali dari pembuangan di Babel. Beberapa peristiwa penting yang perlu kita ketahui sebagai latar belakang adalah bahwa Israel (Utara) telah terlebih dahulu mengalami pembuangan dan menemui kehancurannya di tangan kekuasaan Asyur yang dahsyat, dalam kondisi ini umat Allah benar-benar diwakili oleh kerajaan Yehuda (Israel Selatan) hingga akhirnya Yehuda pun menemui kehancuran 134 tahun kemudian. Pembuangan memberikan kesan pahit yang begitu dalam bagi mereka. Kita bisa mendengar nyanyian perih masa pembuangan dari Mzm 137. dengan demikian harapan akan kepulangan dari pembuangan itu menjadi harapan besar yang terus dipelihara, harapan akan waktu yang dikatakan oleh Richard L. Pratt sebagai waktu berkat-berkat yang besar (time of grand blessings). Pratt mengutip nubuat para nabi mengenai berkat besar pada masa kepulangan tersbut (baca Yl 3:18-21; Am 9:11-15; Yeh 34:26). Namun ternyata kepulangan mereka ternyata tidak seperti yang mereka harapkan. Dari beberapa ayat yang dikutip oleh Pratt, kita melihat berbagai kemenangan yang membahagiakan, namun kenyataan yang terjadi sungguh berbanding terbalik. Kenyataan yang dihadapi mereka benar-benar jauh dari yang mereka harapkan. Ketika mereka kembali dari pembuangan berbagai kesukaran menimpa mereka, komunitas mereka sangat kecil, JA Thompson menyatakan jumlah mereka hanya sekitar 20000 orang. Ini adalah jumlah yang sangat kecil, bila kita membandingkannya dengan 1 Taw 21 ketika Daud mengadakan sensus, jumlah orang yang sanggup berperang saja dari orang-orang Israel dan Yehuda sekitar 1.570.000 orang, sekarang jumlah mereka telah jauh menyusut, tidak ada lagi bait suci kebanggan mereka, selain itu mereka tidak disambut dengan oleh orang Yahudi yang masih tinggal dan tidak ikut diangkut keluar dari tanah Yehuda, mereka mengalami musim buruk, kegagalan panen, serta sikap bermusuhan dari orang-orang sekitar mereka. Dalam kondisi demikian kita melihat tekanan yang begitu kuat dalam diri mereka; janji Allah melalui mulut para nabi seolah menemui kegagalan, disini pergumulan teologis mereka menjadi sangat real. Apakah Allah yang mereka percaya sebagai Allah semesta alam kini gagal untuk mmenuhi janji-Nya??? Kita sering kali memiliki pergumulan teologis yang lepas dari hidup sehari-hari, Allah Tritunggal, dwi natur Kristus, ketetapan Allah dsb. menjadi doktrin-doktrin yang hanya kita bicarakan dalam tataran filosofis semata, kita gagal menggumulkan doktrin-doktrin terebut dalam hidup kita sehari-hari. Orang-orang pasca pembuangan memiliki pergumulan doktrin yang sangat kuat dan hal itu langsung berbenturan dengan kehidupan mereka.

Dalam kondisi sangat tertekan inilah kitab Tawarikh diharapkan dapat memberikan pengharapan, penghiburan dan dorongan bagi mereka. Secara politis J.A Thompson menyatakan bahwa Israel telah punah, namun dalam pandangan TUHAN Israel tidak punah. Penulis Tawarikh mengingatkan mereka dengan menuliskan silsilah mereka, dari Adam, Abraham, Daud. Ketika nama-nama tersebut muncul mereka harus mengingat tangan TUHAN yang kuat. Mereka bukan sekedar sekumpulan kecil orang (20000an orang bila masuk dalam stadion Gelora Bung Karno pun akan terlihat sangat sedikit) yang tak berpengharapan, namun mereka adalah umat TUHAN. Mereka harus mempercayai tangan TUHAN yang kuat ketimbang penafsiran mereka terhadap kondisi mereka saat itu. Dengan demikian penulis kitab Tawarikh ini mendorong umat untuk terus memegang harapan dan berjuang kembali untuk menegakkan kembali kerajaan Allah yang dipercayakan di dalam dinasti Daud. Kita harus melihat realita dan identitas diri kita berdasarkan apa yang sudah diperbuat Allah, bukan pada apa yang ada pada diri kita. Bila umat Israel hanya melihat pada diri mereka, maka mereka pantas untuk kecewa dan putus harapan, namun bila mereka melihat perbuatan tangan TUHAN di sepanjang sejarah, maka mereka semestinya dikuatkan kembali. Demikian juga kita; ada orang yang minder karena miskin, karena kurang cerdas, karena berwajah kurang cantik dsb, sebaliknya ada orang yang sangat percaya diri karena kaya, pintar, berkuasa, dsb. Orang-orang sedemikian menaruh identitas diri mereka secara salah, yaitu pada apa yang ada pada diri mereka bukan pada apa yang telah diperbuat oleh Allah bagi mereka. Penulis kitab Tawarikh dengan sangat berani dan jeli melihat karya Allah yang besar. Banyak dipercayai bahwa penulis kitab ini banyak memakai kitab Samuel dan Raja-raja sebagai sumber, namun kita melihat bahwa dia memiliki agenda teologisnya tersendiri. Kepada jemaat yang sedang lesu dia menyatakan bahwa karena TUHAN lah kini mereka bisa kembali ke tanah mereka. Sejarah dunia akan mencatat bahwa kini mereka bisa pulang karena belas kasihan dari raja Koresh, namun dalam kitab ini dituliskan bahwa TUHAN yang menggerakkan hati Koresh (2 Taw 36:22), baginya kita harus melihat sejarah sebagai tangan TUHAN yang bekerja, bukan sekedar rangkaian kejadian yang terjadi secara sembarangan. Bila ada pelajaran sejarah di sekolah dan seorang guru bertanya dalam ujian bagaimana Indonesia merdeka, maka jawaban yang diharapkan guru adalah bahwa Jepang telah dikalahkan sekutu dengan dihancurkannya Hirosima dan Nagasaki dengan bom atom sehingga Jepangpun menyerah tanpa syarat. Di Indonesia telah terjadi perjuangan pergerakan rakyat yang begitu gigih dan sementara Jepang menarik pasukan, maka di Indonesia terjadi kekosongan kekuasaan sehingga pada waktu itu diproklamirkanlah kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Seorang guru akan mengrenyitkan dahi dan kesal bila ada siswa yang menjawab, kita merdeka karena Allah berkuasa dan berdaulat untuk memberikan kemerdekaan bagi Indonesia, sehingga kita bisa senantiasa memanjatkan syukur kita kepada Allah Bapa dengan bekerja segiat mungkin bagi bangsa Indonesia demi kemuliaan nama Tuhan. Namun kita harus berani untuk melihat hal ini, yaitu bahwa sejarah tidak akan pernah boleh dan tidak akan pernah bisa mendongkel Allah dari tahta kedaulatan-Nya, yang ada adalah kita gagal melihat Allah berkuasa dalam sejarah, khususnya pada periode krisis yang menghampiri kita.

Ada beberapa fokus yang kita lihat dalam kitab Tawarikh, antara lain kita melihat penekanan pada seluruh Israel. Meski pada waktu itu mayoritas suku yang tersisa adalah suku Yehuda, namun penulis memberikan tekanan pada Israel secara keseluruhan. Di dalam silsilah kita melihat bahwa silsilah kesemua suku Israel dituliskan disini. Kita melihat bahwa rencana TUHAN atas Israel tidak akan pernah gagal. Meskipun yang kasat mata adalah suku-suku Israel nyaris punah, namun penulis memberikan penekanan pada keberadaan mereka sebagai seluruh Israel. Disini sekali lagi kita melihat bahwa rencana TUHAN tidak akan pernah batal. Hal ini menguatkan dan sekaligus melumatkan. Bagi kita yang berada di dalam Kristus hal ini menyadi satu asuransi yang begitu kokoh, meski keadaan dunia kita terlihat begitu kalut kita tetap bisa yakin bahwa Allah kita tidak pernah gagal; sebaliknya bagi orang yang berkeras menolak Kristus kita akan melihat bahwa mereka akan tergilas di dalam kebenaran yang tidak akan tergoyahkan, rencana Allah akan terus berjalan, siapa yang menolak-Nya akan habis. Selanjutnya, tetap berkaitan dengan rencana Allah, kita melihat bahwa penulis memberikan penekanan yang kuat pada dinasti Daud. Raja-raja Israel (Utara) yang bukan berasal dari keturunan Daud tidak diberikan perhatian yang khusus kecuali bila berkaitan dengan raja-raja Yehuda (dinasti Daud). Selain menunjukkan kesinambungan rencana Allah, kita melihat bahwa Daud adalah raja yang memperkenankan hati TUHAN, pemerintahan Daud adalah perwakilan dari pemerintahan Allah sendiri, sehingga penekanan pada dinasti Daud juga merupakan penekanan pada ke maharajaan Allah sendiri. Selanjutnya penulis menekankan pada peran penting imam-imam dari suku Lewi, serta bait suci. David A. Dorsey mengamati peletakan suku Lewi sebagai pusat di dalam struktur kiastik (penulisan Alkitab khususnya Perjanjian Lama banyak memakai gaya penulisan ini) yang dibangun penulis pada bagian silsilah. Disini kita kita melihat bahwa penulis hendak memberikan penekanan yang begitu kuat untuk mendorong rakyat di dalam melakukan restorasi, kedua unsur itu yang adalah pertama Allah yang berdaulat, kedua keberpautan kita pada Taurat TUHAN.

Yosia dicatat baru berumur 8 tahun ketika ia menjadi raja, suatu usia yang sangat muda, suatu umur yang tidak ideal bagi seorang raja. Namun demikian ideal atau tidak idealnya seorang raja bagi penulis kitab Tawarikh tidak bergantung pada usia sang raja namun lebih kepada responsnya terhadap TUHAN. Allah bisa memakai siapa saja yang Dia mau, yang menjadi poin penting adalah Allah mau memakai bukan siapa yang dipakai. Yohanes Pembaptis pernah berseru dengan lantang bahwa Allah bisa menjadikan keturunan Abraham dari batu (Luk 3:8).

Beberapa indikasi penunjuk waktu yang dituliskan oleh penulis mencatat tindakan Yosia yang mencari Allah Daud (pada tahun kedelapan pemerintahannya 34:3), yang mulai mentahirkan Yehuda dan Yerusalem (pada tahun kedua belas pemerintahannya 34:3), serta yang menyuruh Safan untuk memperbaiki rumah TUHAN Allah (pada tahun kedelapan belas pemerintahannya 34:8). Beberapa ahli Perjanjian Lama, mengaitkan wakt-waktu tersebut dengan kondisi politik saat itu. Pada waktu itu (tahun ke 8, 12, 16 pemeintahan Yosia) kerajaan Asyur sedang mulai merosot, beberapa hal penting yang terjadi antara lain adalah kematian Asyurbanipal, Asyuretiliani, serta kegagalan Asyur untuk mengontrol Babel. Mungkin banyak sejarawan yang akan mencatat reformasi religius yang dilakukan oleh Yosia adalah karena kekuatan Asyur sudah mulai pudar, mereka bisa berkata tentu Yosia bisa melakukan itu karena Asyur sudah tidak mampu lagi menekan, bila Asyur kuat, tentu Yosia tidak mampu melakukannya. Melakukan reformasi agama dan menolak Allah yang disembah Asyur berarti pemberontakan terhadapnya, sekiranya Asyur masih kuat Yosia tidak akan melakukan tindakan nekad ini. Pandangan itu lenyap sama sekali ditangan penulis Tawarikh ini; bagi dia kesuksesan reformasi ini adalah karena hatinya berpaut kepada TUHAN Allah. Dia bahkan sama sekali tidak merasa perlu untuk mencatat mengenai kekuatan Asyur yang mulai jatuh, bahkan nama raja-raja yang mati pun tidak menarik baginya. Bagi penulis Tawarikh, yang perlu diperhatikan adalah sikap setia untuk mencari TUHAN. Beranikah kita mengaminkan iman penulis Tawarikh ini??? Mengapa kita bisa sukses, mengapa bisa meraih ini dan itu, karena kompetitor kita lengah, atau karena kita terlalu piawai dalam bidang kita??? Tidak, jawabannya adalah karena kita bersandar penuh pada TUHAN. Ini unik, di atas kita belajar bahwa keberadaan kita secara utuh adalah karena tangan kuasa TUHAN, dan disini kita diajar untuk berrespon kepada TUHAN dengan bersandar kepada-Nya.

Yang sangat menarik untuk dicatat adalah bahwa penulis Tawarikh merasa perlu untuk mencatat tindakan religius Yosia (serta raja-raja yang lain). Bukankah tugas seorang raja adalah pergi berperang, mengatur urusan militer dan kenegaraan??? Namun disini penulis Tawarikh memberikan satu penekanan yang lain, raja yang benar melakukan tugasnya demi mencari wajah TUHAN saja. Penulis tidak terlalu tertarik dengan pencapaian militer Yosia. Alih-alih mencatat keamanan negara, atau kemakmuran serta kekayaannya, penulis kitab ini justru mencatat kondisi rakyat yang berpaut kepada TUHAN pada masa pemerintahannya (34:33). Satu-satunya pencapaian militer yang diraih oleh Yosia adalah ketika dia mati terbunuh ditangan Nekho; saya percaya ini bukan merupakan pencapaian militer namun kegagalan dalam ibadah. Hal ini sama sekali bukan berarti bahwa kita harus melupakan segala tanggung jawab pekerjaan kita dan ramai-ramai pergi berdoa ke gedung gereja setiap saat, namun lebih kepada arah hati kita di dalam mengerjakan segala hal. Penulis Tawarikh ingin menegaskan bahwa raja yang diperkenan TUHAN adalah raja yang arah hatinya secara utuh menghadap hadirat Allah. Apakah tugas pelajar, ilmuwan,guru, dokter, dsb. Tentu jawabannya adalah belajar, melakukan penelitian, mengajar, mendiagnosa penyakit dan memberikan resep obat; namun semua itu harus dikerjakan dengan arah hati yang menuju kepada Allah, mengerjakan segalanya demi kemuliaan Allah semata.

Selanjutnya kita melihat pembaharuan bait suci dan penemuan kitab Taurat. Penemuan kitab Taurat ini menunjukkan bahwa kitab tersebut telah hilang, ini sangat memprihatinkan. Sekali lagi kita melihat bagaimana penulis memberikan titik berat pada penemuan kitab Taurat dan perkataan Hulda sang nabiah yang memberitakan berita penghukuman kepada bangsa itu karena mereka telah mereka telah berubah setia dari hadapan Allah. (34:25-26) Yosia telah merendahkan diri di hadapan TUHAN, ia mengoyakkan pakaiannya (tanda perkabungan) ketika mendengar kitab Taurat tersebut ditemukan kembali, dia mengatakan bahwa murka TUHAN tercurah karena dosa. Ini juga merupakan tema penting dalam kitab Tawarikh yang sangat jelas dari kisah ini, yaitu prinsip berkat dan kutuk. Ketaatan mendatangkan berkat dan ketidaktaatan mendatangkan kutuk. Prinsip ini terkadang kita abaikan, bahkan kita korbankan diatas altar anugerah. Kita berbicara mengenai anugerah, jadi meski kita berdosa namun Tuhan penuh belas kasihan dan pengampunan; sebaliknya ketika Tuhan memberikan kita kemujuran maka itu bukan karena kita baik tetapi hanya karena anugerah Tuhan. Saya percaya hal tersebut adalah sepenuhnya benar; namun bagian Alkitab yang menyatakan berkat dan kutuk sebagai upah dari tindakan manusia juga adalah benar. Dalam kitab ini secara khusus kita bisa melihat dengan jelas. Hulda menyatakan hukuman akan ditimpakan, namun karena Yosia meminta merendahkan diri meminta ampun maka Yosia tidak akan melihat hukuman tersebut ditimpakan. Pada zaman ini kita sudah sering kehilangan rasa takut kita akan penghukuman Allah; untuk membenarkan diri kita, kita beralasan dan berpura-pura menjadi rohani dengan berkata ah semestinya kita mencintai Tuhan bukan takut akan penghukuman-Nya, takut pada penghukuman itu adalah sifat tidak dewasa dan sangat kekanak-kanakan. Perkataan seperti ini sendiri merupakan perkataan yang sangat kekanak-kanakan sebab melupakan keberadaan diri kita yang sering kali memang masih bersifat kekanak-kanakan. Yang kita dapati adalah Alkitab juga mengajarkan kita untuk taat kepada Allah dan bila kita tidak taat kita akan dihukum, akankah kita jadikan bagian ini tidak relevan karena kita menganggap diri kita sudah dewasa??? John Calvin ketika menerangkan jabatan Kristus sebagai Raja, menerangkan kepada pembacanya bahwa karena Dia adalah Raja kita, maka kita memang akan berbagian dalam kemenangan-Nya, namun disisi yang lain kita juga harus tunduk secara total kepada-Nya.

Dalam perayaan Paskah yang dicatat dengan panjang lebar (lebih panjang dari pada yang dicatat dalam kitab Raja-raja) kita kembali mengingat betapa pentingnya perayaan yang seturut dengan hukum Taurat (perayaan ini diperintahkan di dalam hukum Taurat). Perayaan Paskah sangat penting, mengingatkan mereka apa yang TUHAN sudah buat bagi Israel, yaitu membebaskan mereka dari Mesir yang telah memperbudak Israel selama sekitar 400 tahun. Orang-orang yang kembali dari pembuangan harus kembali mengerti hal ini, mereka telah dibuang kurang lebih 70 tahun dan kini mereka kembali; Allah mereka pernah membebaskan Israel dari Mesir. Setiap kita dalam kondisi apapun juga harus mengingat hal ini bahwa TUHAN, Allah yang membebaskan Israel dari Mesir adalah Allah kita juga, bahkan Dia sudah memberikan Kristus Yesus, Putera tunggal yang dikasihi-Nya untuk mati menebus kita dari kutuk dosa. Sering kali kita tidak dengan sungguh-sungguh merayakan Paskah atau perjamuan kudus; kita melakukannya hanya sebagai seremoni rutin tanpa benar-benar mengingat karya Allah yang besar dalam hidup kita.

Dalam akhir hidupnya Yosia gagal untuk taat kepada TUHAN, Dia terbunuh ditangan Nekho. Yosia tidak mengindahkan peringatan Nekho yang menyatakan jangan menentang Allah. Ini patut menjadi pelajaran kita, mewarisi pemerintahan rusak dari Amon, Yosia justru mencari TUHAN, namun ditengah kestabilan justru dia gagal mengenal suara TUHAN dan melawan-Nya. Saya percaya kita sangat perlu untuk terus sadar; kita rentan terhadap dosa terutama ketika kondisi kita “baik-baik” saja. Kita perlu terus menengadah dan memohonkan TUHAN untuk memberikan kekuatan kepada kita untuk senantiasa hidup berpadanan dengan-Nya. Penulis Tawarikh belum melihat realisasi dari apa yang diharapkannya, yaitu ditegakkannya kerajaan Allah. Namun kita sudah melihatnya dalam diri Kristus Yesus yang telah datang dan menang, dan sebuah kehormatan yang besar bila kita, gereja Kristus di masa kini diberi kehormatan untuk meneruskan terus kerajaan ini hingga Dia menyempurnakannya dalam kedatangan-Nya yang kedua kali. Hal itu dipercayakan kepada kita, terberkatilah kita di dalam Dia.

GOD be praised!!!

Thursday, November 12, 2009

Menghidupi Anugerah

Galatia 2:15-21

Bagian yang kita baca ini merupakan rangkaian argumentasi awal Paulus mengenai berita Injil nya. Saya ingin mengulang sedikit, dalam jemaat Galatia kita melihat ada satu permasalahan yang sangat pelik, hal ini dipandang sangat serius oleh Paulus. Permasalahan ini adalah permasalahan doktrin, dan doktrin disini adalah doktrin yang paling pokok (menyangkut core belief). Dalam hidup kita, kita mendapati bahwa kita berhadapan dengan variasi orang yang begitu banyak, kita berhadapan dengan budaya yang bermacam-macam, cara berpikir yang sangat beragam, bahkan doktrin yang berbeda-beda; disini Paulus sangat sensitif dalam menanggapi perbedaan doktrin ini. Dia tidak bisa mentoleransi bila ini berkaitan dengan iman yang paling dasar. Kita perlu untuk melihat bahwa dalam hidup kita, kita melihat berbagai keberagaman, ada kalanya keberagaman tersebut membawa kelimpahan aspek, namun ada yang benar-benar diluar dari kerangka iman yang sehat. Ketika berhubungan dengan kerangka iman yang mendasar Paulus tidak dapat mentoleransi lagi. Paulus berkata kepada jemaat di Korintus, ada yang berpengetahuan tinggi, namun karena pengetahuannya itu justru menjadi batu sandungan jemaat yang lemah sehingga Paulus mengecam orang yang menghidupi pengetahuan itu dengan cara sedemikian. Masalah saudara yang berpengetahuan lebih rendah, masalah mengenai makanan dan minuman, itu bukan permasalahan pokok, namun ketika menyangkut masalah iman; Paulus bahkan tidak bisa mentolerir salah satu sokoguru jemaat yaitu Petrus. Paulus memakai kisah ketika dia menegor Petrus sebagai salah satu hal yang menguatkan Injilnya. Ketika makan dengan orang-orang yang tidak bersunat, Petrus mengundurkan diri dari mereka waktu orang-orang dari golongan Yakobus datang; melihat hal tersebut Paulus menegor Petrus secara terang-terangan. Kita ingat bahwa dalam jemaat ini ada keraguan terhadap kerasulan Paulus sehingga dia harus menegaskan keotentikan panggilan rasulinya demi kekokohan berita injil yang diwartakannya. Paulus menyatakan bahwa dia memiliki otoritas rasul Kristus (sehingga dia berani menegor Petrus yang adalah rasul dan merupakan sokoguru jemaat) dan dalam jemaat ini ada kerancuan terhadap isi berita Injil, maka kini Paulus melawan orang yang bertentangan, termasuk Petrus sekalipun. Namun hingga disana Paulus belum menggunakan argumentasinya.

Dalam argumentasinya yang pertama Paulus menyatakan bahwa dirinya adalah orang Yahudi bukan seperti yang lain (jemaat yang bukan Yahudi). Argumen ini penting karena dalam konsep Judaisme, keselamatan adalah datang dari Yahudi dan bukan dari bangsa lain. Paulus adalah dari Yahudi. Yang menjadi pembeda adalah masalah Yahudi dan non Yahudi. Dalam New Perspective on Paul 1, kita melihat konsep mengenai covenant nomism. Dalam konsep tersebut dinyatakan bahwa dalam agama Yahudi yang berpaut pada Perjanjian Lama, keselamatan adalah melalui anugerah, dan pada gilirannya yang menjadi bagian kita adalah bagaimana kita bisa tetap berada di dalam anugerah (tetap berada di dalam Kovenan/Perjanjian dengan TUHAN) tersebut. Taurat dikatakan sebagai rule of life (aturan hidup). Intinya adalah anugerah, Allah pertama-tama memilih Israel, lalu Allah memberikan hukum Taurat bagi umat pilihan-Nya; jadi manusia diselamatkan dahulu baru kemudian diberi hukum, selanjutnya dalam hukum Taurat ini ada tuntutan. Allah menjanjikan upah bagi yang taat dan menghukum yang tidak taat (covenant breaker) namun untuk manusia yang di dalam kovenan dan tidak taat disediakan juga penebusan melalui berbagai sistem pengurbanan. Dalam konsep tersebut kita melihat bahwa tidak ada celah bagi agama yang mengajarkan keselamatan karena perbuatan. Saya percaya ada poin yang sangat kuat yang diangkat oleh EP. Sanders dkk ini, agama Yahudi adalah agama Alkitab (PL), sesungguhnya mengajarkan mengenai anugerah dan tidak salah. Paulus bukan menentang agama Yahudi, namun dia menentang penyimpangan yang kuat dari agama ini. Dia menentang bila hal ini dikaitkan dengan kondisi Yahudi semata, sebab ternyata selanjutnya dia berkata bahwa tidak seorangpun mendapat kebenaran karena hukum taurat. Melakukan hukum taurat ini yang dibelokkan, tadinya pengertian Taurat ini mencakup anugerah dan penebusan, namun kini bergeser kepada melakukan (tindakan sunat secara khususnya). Kita memiliki kecenderungan untuk berbicara menenai jasa kita, bagian kita. Boleh juga berbicara anugerah, namun kiranya jangan lupakan sama sekali bagian saya. Pandangan seperti ini saya percaya merupakan natur dari manusia yang bedosa. Hal ini diperburuk dengan penghukuman-penghukuman yang mereka terima karena dosa mereka, sehingga semangat untuk mengejar kesempurnaan semakin mengkristal sehingga penyimpangan yang bersifat peninggian jasa ini semakin meninggi. Yang ditentang oleh Paulus bukan observasi hukum Taurat namun usaha untuk diterima Tuhan, usaha untuk menjadi bagian dari umat Tuhan melalui obervasi hukum Taurat. Paulus mengatakan bahwa dia adalah orang Yahudi, bukan orang berdosa dari bangsa lain, namun hal ini tidak cukup, karena sebenarnya keselamatan bukan urusan Yahudi dan bukan Yahudi sebab menurut hukum Taurat, kita semua telah terjerat di dalam dosa. Karena itu dia menegaskan bahwa tidak seorangpun dibenarkan karena Taurat. Hal ini dinyatakan Paulus karena pandangan bahwa orang untuk masuk sebagai umat Allah haruslah umat Yahudi, harus menjadi proselit (non Yahudi yang disunat untuk menjadi bagian dari kovenan Allah terhadap bangsa Yahudi); karena keselamatan tidak ada di luar Taurat dan orang luar Yahudi orang tidak menenal Taurat; sekali lagi Paulus menyatakan bahwa keselamatan bukan karena melakukan hukum Taurat.

Selanjutnya kita melihat premis-premis yang melahirkan konklusi satanik ini. 1. Kita dibenarkan dalam Kristus. 2. tidak karena melakukan Taurat (diluar Taurat berarti berdosa) sehingga kesimpulannya adalah 3. Kristus adalah pelyan dosa. Jawabannya adalah tidak!!! Paulus menjabarkannya demikian, bahwa bila dia membangun kembali sistem yang sudah dirobohkannya (pembenaran karena melakukan hukum taurat), maka dia sendiri sudah berdosa. Pada ay 17 dinyatakan bahwa kami adalah orang berdosa, jadi bila hukum Taurat kami tegakkan lagi maka kami sudah menjadi pelanggar (karena kami berdosa). Berdasarkan Taurat aku telah mati (konsekuensi Taurat), namun kini aku hidup untuk Allah. Aku disalibkan dengan Kristus, dan hidup dalam Kristus. Hidup dalam Kristus bukan sekedar dikaitkan dengan status, namun berkait langsung dengan cinta. Hubungan kita dengan Allah adalah hubungan yang berkaitan dengan cinta, cinta itu yang menyerahkan Kristus kepada kita. Dengan demikian tidak ada jalan bagi antinomianisme (anti hukum).

Orang-orang Kristen Galatia sangat mungkin sedang sangat tertekan bukan sekedar oleh orang-orang Yahudi karena alasan teologis, namun juga diiringi dengan masalah sosial politik, karena mereka mendapatkan tekanan juga dari orang-orang yahudi ekstrim yang menganiaya mereka juga. Para penganiaya tersebut menekan orang-orang Kristen non Yahudi yang tidak bersunat. Kita melihat bahwa masalah sosial politik bisa berkait dengan masalah teologi seorang. Dalam hidup kita, permasalahan teologi bisa mempengaruhi kehidupan seorang, dan juga sebaliknya. Paulus berani menentang praktek ini bukan sekedar hingga tataran teologis namun hingga praktek fisik yang berhubungan dengan urusan politis juga. Bila mereka sudah terbiasa takut dalam menghadapi tekanan dan memberi diri mereka disunat, mereka bisa dengan lebih mudah terpengaruh teologinya (teologi yang mengajarkan melakukan observasi hukum Taurat untuk mendapatkan keselamatan). Luther bukan orang yang lepas dari pergumulan pribadi, tantangan zaman yang menyebabkan dia melahirkan teologi yang tidak terlepas dari keadaan. Ini hal yang sangat baik, pergumulan teologi kita dikaitkan dengan tantangan saat ini. Luther ketika melawan ajaran mengenai surat penghapusan dosa juga didorong oleh keadaan para petani Jerman yang sangat miskin; pergumulan tersebut membuatnya memikirkan ulang doktrin keselamatan yang dikaitkan dengan pembelian surat penghapusan dosa. Hal ini jarang ada dalam pergumulan hidup kita. Kita belajar doktrin seolah terlepas dari hidup keseharian kita. Paulus tidak membiarkan praktek observasi Taurat (melalui sunat) untuk mendapatkan keselamatan, meskipun hal itu sangat dipengaruhi kondisi politis, dia benar-benar memberikan restriksi yang tegas karena hal tersebut sangat mengancam doktrin mengenai injil yang diajarkannya.

Kini setelah Paulus menjelaskan bahwa tidak ada kebenaran di dalam Taurat dan bahwa kita telah mati di dalam Taurat karena kegagalan kita dalam menaatinya, dia mengatakan bahwa kita hidup untuk Allah. Paulus mengatakan bahwa bukan aku lagi yang hidup namun Kristus yang hidup di dalam aku. Tidak hidup menurut Taurat bukan hidup berkanjang dosa, Kristus bukan pelayan dosa. Di awal argumentasinya, seolah Paulus bersifat sangat bertentangan dengan hukum taurat, namun kini kita melihat bahwa dia hidup bukan melawan Taurat melainkan Kristus yang hidup di dalamnya. Dalam injil Matius kita melihat bahwa Kristuslah penggenapan dari hukum Taurat tersebut (Mat 5:17), Kristuslah yang menggenapkan secara sempurna kasih terhadap Allah dan kasih terhadap sesama manusia secara utuh. Jadi kita mengerti bahwa kehidupan kita bukanlah kehidupan karena menjalankan hukum Taurat, melainkan kehidupan karena iman. Dan setelah kita hidup, kita hidup untuk Allah; hal ini mungkin tidak mudah namun hal tersebut dimungkinkan karena Kristuslah yang hidup dalam kita. Bukan kekuatan kita melainkan kuasa Kristus. Kita boleh menunduk ketika melihat kekuatan diri kita yang begitu lemah, namun kita harus menaruh kepercayaan yang tinggi pada kuasa Kristus yang memampukan kita hidup bagi-Nya. Amin!!!

1Perspektif baru dalam memandang surat-surat Paulus; terutama untuk memberikan pandangan tentang Injil dalam memberikan perspektif lain dari pembacaan Martin Luther yang berfokus pada keselamatan pribadi yang menentang keselamatan karena perbuatan baik. Kita tidak tentu setuju dengan semua kesimpulan dari New Perspective on Paul namun kita bisa melihat kekayaan pesan Injil Paulus dengan mempelajarinya

GOD be praised!!!

Mengenal Kehendak Allah

2 Samuel 16:5-14

Mengerti kehendak Allah adalah tema besar di dalam kekristenan. Kita perlu untuk bergumul apa yang di kehendaki-Nya bukan apa yang kita mau namun apa yang Dia maulah yang kita kerjakan di dalam sukacita yang penuh. Namun tema mengenal kehendak Allah ini sering menjadi bagian yang ambigu dan tidak jelas; kita akan belajar akan pergumulan seorang anak Tuhan yang bergumul dan berani untuk berrespon di dalam iman kepada Tuhan dalam bagian kitab Samuel ini. Bagian ini mengisahkan perjalanan penghukuman Daud yang terjadi karena dosanya terhadap TUHAN dengan mengambil isteri dan membunuh Uria; TUHAN menghukum Daud dengan sangat keras. Alkitab mengisahkan Daud sebagai seorang yang begitu diperkenan oleh TUHAN namun Daud tetap bukanlah Tuhan. Ada bagian dimana dia melakukan kekejian yang begitu menyedihkan dan disini kita belajar belas kasihan Tuhan dan penghiburan bagi kita yang juga merupakan umat Allah yang sering bergumul dengan dosa. Kitab Samuel ini, mengingatkan kita akan penggenapan perjalanan sejarah penebusan TUHAN Allah sendiri. Dalam Hakim-hakim kita melihat waktu yang kelam dimana tidak ada raja dan setiap orang berbuat melakukan apa yang dipandang mereka baik sebuah masa dimana rencana TUHAN kelihatannya akan batal karena kegagalan manusia, dan dalam kitab Samuel inilah kita melihat satu per satu rencana TUHAN digenapi, rencana belas kasihan-Nya atas kita, rencana-Nya untuk menyatakan kemuliaan-Nya secara khusus dengan hadirnya raja bagi Israel. Kita harus senantiasa sadar bahwa rencana Allah akan senantiasa tergenapi, ini merupakan penghiburan di satu sisi bagi kita umat Allah yang mencintai Allah namun di sisi yang lain ini adalah teror bagi mereka yang keras hati dan menolak Dia. TUHAN berdaulat, betapapun cerdas trik yang dilakukan oleh manusia, rencana-Nya pasti akan digenapi.

Kitab Samuel merujuk kepada Daud, Daud sebagai raja yang diperkenan oleh Allah, dan kita melihat bahwa yang dipandang Allah sering kali melmpaui apa yang bisa dipandang manusia. Saul yang dikatakan tingginya melebihi semua orang yang lain, dia diangkat menjadi raja, namun sebenarnya kualifikasi raja dihadapan Allah bukanlah hal ini. Raja semestinya adalah orang yang hidupnya memperkenan TUHAN Allah. Saya ingin mengajak kita melihat bagaimana orang yang diperkenan Allah di dalam masa kritis dalam hidupnya. Kita akan membandingkan Daud dengan Saul. Daud, sang raja kini harus melarikan diri, kelelahan, dari tahtanya sendiri setelah anak lelakinya mengadakan persepakatan untuk melawan dia. Ini satu hal yang digambarkan dengan begitu mengerikan, namun satu hal yang menarik adalah bahwa Daud berkata kepada Zadok beserta orang-orang pengangkut tabut Allah itu. Pergilah bawa tabut itu ke kota; tabut melambangkan, menyignifikansikan kehadiran TUHAN Allah, Daud memerintahkan supaya tabut tersebut di bawa ke kota, dia sadar TUHAN sedang menghukum dia, dia mengerti bahwa dia sedang diusir oleh TUHAN, dan dia berharap dia akan kembali. Daud sama sekali tidak berkata tentang tahta, tentang kemewahan, Daud berkata, jika kasih karunia TUHAN ada padaku biarlah Dia ijinkan aku kembali dan melihat tabut itu kembali. Tapi jika tidak, ah TUHAN yang maha benar dan senantiasa benar, biar Dia lakukan apa yang dia pikir baik. (15:25-26). Kita melihat ketika Saul sudah jelas tahu bahwa TUHAN sudah menolak dia, dia tetap ngotot, (bukan dalam versi Yakub yang ngotot untuk mendapatkan berkat dari TUHAN) namun ngotot untuk tetap diberi muka di hadapan para tetua. Kita melihat raja yang diurapi dan diperkenan TUHAN. Daud tidak steril dari dosa, namun berbeda dari Saul yang mencari muka dari para tetua bangsa (1 Sam 15:30); Daud, ketika di dalam tekanan, hanya berharap muka TUHAN yang datang menyertainya. Inilah yang menjadi pembeda. Mari kita tanyakan pada diri kita sendiri, ketika kita sedang mengalami permasalahan, apa yang kita cari??? Kita lebih mudah untuk berpikir mengenai solusi, mencari penyelesaian, mencari akal bagaimana mengalahkan Absalom, bagaimana menyelamatkan tahta; namun di hadapan Daud itu semua hanyalah hal sekunder, yang paling menyesakkan dia adalah dia tidak akan melihat tabut Allah, yang paling diharapkan adalah suatu hari dia diijinkan lagi melihat tabut Allah. Dalam Mzm 51:4 dikatakan oleh Daud, kepada-Mulah aku berdosa, dan melakukan apa yang Kau pandang salah. Kau pandang salah, dipandang siapa itu matters bagi Daud. Kita sering berpikir bagaimana melakukan ini dan itu, apakah bisa menyengangkan dia dan dia namun kita lupa bertanya apakah yang kita lakukan ini membuat TUHAN senang, apakah TUHAN mengafirmasinya, inilah hal utama yang semestinya kita pikirkan. Inilah yang disebut sebagai spiritualitas Kristen. Spiritualitas Kristen bukanlah mengenai bagaimana cara bermeditasi, bukan mengenai cara berpuasa yang baik, bukan mengenai cara berdoa yang manjur, bukan bagaimana jiwa kita bisa lepas dari tubuh ini atau setidaknya bagaimana kita mengontrol urusan jiwa ini; spiritualitas Kristen adalah bagaimana kita hidup dihadapan Allah, kesadaran akan apakah yang kita lakukan disenangi atau tidak oleh Allah, biarlah ini menjadi renungan kita senantiasa.

Dalam perjalanan menuju pembuangan kita kembali melihat ketegangan antara Daud dan Saul (memang tema ini sering muncul dalam kitab ini). Simei seorang yang dikatakan dari kaum keluarga Saul terus mengutuki Daud, dan isi dari kutukan itupun jelas, yaitu bahwa dia menganggap bahwa Daud adalah musuh Saul, Daud yang merebut tahta dari keluarga Saul. Sesungguhnya Daud tidak pernah merebut tahta dari Saul; Daud melayani Saul dan menjadi pegawainya yang setia. Bukan karena dia terlalu mencintai Saul, bukan juga karena Saul terlalu gagah, namun sekali lagi kita melihat Daud yang menatap senantiasa wajah TUHAN, dia mengingat bahwa Saul pernah diurapi oleh Samuel, sang wakil TUHAN. Ini yang menjadi alasan mengapa Daud tidak pernah mau membunuh Saul, dia tidak mau dipandang bersalah dihadapan TUHAN dengan menjamah orang yang pernah diurapi oleh TUHAN. Namun demikian tegangan Saul - Daud dimunculkan disini oleh Simei, dalam kondisi seperti ini Daud dituntut untuk berrespon. Ini bagian pertama yang saya ajak kita untuk merenungkannya secara bersama-sama. Adakah kita bergumul untuk mengenali kehendak TUHAN, adakah kita bergumul untuk melakukan apa yang disenangi-Nya. Kita berada dalam kecenderungan ekstrim, sadar atau tidak hidup kita sudah sangat terstruktur ditujukan keppada satu titik, saya ingin mencapai goal ini, saya akan menjadi begini dan begitu, sementara begini dan begitu itu dipengaruhi oleh sangat banyak hal, lingkungan keluarga kita, teman-teman kita, sekolah dan guru kita, pergumulan-pergumulan kita. Goal-goal tersebut bisa pendek dan bisa panjang, bisa spesifik dan bisa juga umum. Kita mungkin memiliki tujuan jangka panjang, saya harus jadi orang sukses, kaya raya. Tujuan terebut tidak selalu terformulasi, namun hal tersebut sudah menjadi komitmen hati kita tanpa kita sadari. Kita tetapkan tujuan-tujuan jangka pendek, proyek ini dan proyek itu dan hal tersebut harus gol. Seorang remaja mungkin bertujuan untuk berpacaran dengan seorang gadis, pokoknya harus dengan orang ini, diapun membuat strategi jangka pendek, harus ini dan harus itu. Sebaliknya ada orang yang dalam hidupnya seolah mengalir, hari ini dan besok dan beberapa tahun kedepan ya dijalani apa adanya, que sera-sera, tujuan-tujuan mengalir begitu saja. Namun kita jarang mendongakkan kepala dan melihat kepada TUHAN lalu bertanya kepada-Nya, apa yang Engkau kehendaki ya Tuhan???

Hal berikutnya sering kita tanyakan, bagaimana saya mengerti kehendak TUHAN??? Bagaimana kalau ternyata saya salah menilai Dia??? Dalam teologi dan buku-buku Reformed, kita tidak menjumpai step-step yang mengajarkan kita untuk mengerti kehendak TUHAN dengan tepat. “17 langkah dalam mengerti kehendak Tuhan”. Itu adalah langkah bodoh dalam kita mengerti TUHAN. Kita bisa mengerti barang, HP, komputer dsb dengan manual book, namun kita tidak akan pernah bisa mengerti pribadi dengan studi-studi dan pemikiran abstraksi. Allah itu roh, Allah itu maha kuasa, Allah itu Tritunggal, itu semua kalimat abstraksi, bisa menjelaskan namun mustahil membuat kita mengenal Tuhan. Kita tidak akan mengenal Tuhan dengan membaca buku panduan mengenai Tuhan, kita hanya bisa mengenal Dia dalam hubungan personal, terlebih lagi Dia adalah Allah, Pribadi yang mengatasi kita secara mutlak. Namun pertanyaan kita belum selesai, bagaimana saya tahu apa yang Dia kehendaki??? Mzm 25:14 mengatakan bahwa TUHAN bergaul karib dengan orang yang takut akan Dia, dan perjanjian-Nya diberitahukan-Nya kepada mereka. Hal ini seolah sangat simpel, bagaimana kita mengetahui kehendak Allah, Dia sendiri yang akan membuat kita tahu. Apakah hal ini berarti kita benar-benar akan tahu setiap cm kehendak Allah sehingga tidak ada lagi misteri dihadapan kita??? Tentu tidak; yang menjadi kunci adalah takut akan Allah. Ini sering menjadi kata yang klise, namun ini sama sekali bukan klise dan tidak berlebihan; Daud yang menuliskkan Mazmur ini benar-benar mengalami apa yang disebut takut akan Allah, dia mengalami sendiri pimpinan TUHAN, namun hal itu tidak serta merta membuatnya mengerti secara total apa yang Allah mau. Daud pernah salah ketika dia ingin membangun bait suci, namun pada akhirnya TUHAN memberitahunya ketika Natan datang kepadanya. Yang menjadi poin disini adalah bahwa dia salah dan setelah dia menyusun rencana, berdasarkan hati yang mencintai TUHAN maka dia baru tahu kalau dia salah. Ketika kita ingin benar-benar mengenal kehendak Tuhan kita memang dituntut untuk berani melangkah meski kita tidak mengetahui secara jelas apa yang sebenarnya dikehendaki oleh Dia. Kita memang manusia yang diijinkan oleh Tuhan untuk bergumul, selain itu kita akan menjadi robot atau batu. Kita ingin Tuhan memberikan segala sesuatu jelas, namun sebenarnya justru dengan ini kita menyangkali natur keberadaan kita sebagai manusia yang memang diijinkan Tuhan untuk bergumul. Kita tidak pernah tahu apa yang akan Tuhan perbuat secara spesifik, namun kita diberikan kesempatan oleh Tuhan untuk menantikan dan terpesona akan apa yang diperbuat-Nya dikemudian hari. Bergumul mengenai apa yang Tuhan mau kerjakan di kemudian hari (God's decretive will) bukanlah bagian kita; kita tidak perlu bertanya apa yang Tuhan mau kerjakan terhadap orang ini, atau bahkan terhadap saya. Kita diijinkan Tuhan untuk terus bergumul, dan dalam pergumulan-pergumulan tersebut kita tetap harus berrespon dan mengambil keputusan. Kita tidak tahu kedepan akan mengarah kemana, itu adalah aspek misteri dan sebenarnya bukan bagian kita untuk menggumulkan aspek itu. Yang diijinkan Tuhan untuk menjadi aspek pergumulan kita adalah, apa yang saya bisa berikan saat ini seturut dengan apa yang ada sekarang (God's moral will). Berdasarkan kitab suci kita berpikir apakah ini baik, apakah ini akan menyenangkanTuhan, dan dalam keterbatasan kita dituntut untuk berani memutuskan dalam segala cinta kita kepada TUHAN. Pdt Billy mengutip Agustinus berkata kepada saya: love your God and do what you want. Inilah bagian kita, mencintai Tuhan dan memutuskan berdasarkan cinta ita kepada-Nya. Mungkin kita salah, namun justru kalau kita sadar Tuhan berdaulat kita percaya bahwa Tuhan yang akan menuntun kita senantiasa.

Yang diketahui oleh Daud adalah bahwa dia berdosa, dia dihukum TUHAN dan TUHAN mau membuang dia. Ketika Simei mengutuki ia dia melihat realita tersebut sebagai penghukuman dari TUHAN. Dia menolak usul Abisai untuk memenggal Simei, dia berkata bila TUHAN yang mengutuk siapa yang akan menghentikan-Nya. Kita mungkin bisa dengan mudah berkata bahwa kita harus menyenangkan TUHAN lebih dari menyenangkan orang lain. Namun dalam kondisi ini, Daud berkata bahwa dia melihat wajah TUHAN lebih dari wajah dirinya sendiri, bahkan dalam penghukuman Daud melihat hal ini. TUHAN selalu benar, dan celakanya dia sedang dalam posisi salah saat ini, jika demikian, biarlah hukuman TUHAN itu jatuh padaku. Dalam Mzm 51 yang tadi kita baca, selain kita melihat bahwa pergumulan Daud adalah pergumulan dihadapan Allah, dia juga bergumul untuk nama TUHAN ditegakkan. Biarlah Dia ternyata benar ketika Dia menghukum saya. Beranikah kita berkata demikian. Secara konsisten, Daud memihak Allah, dan ketika dia mendapati dirinya sendiri sedang berada di pihak musuh Allah, Dia seolah berkata biarlah Allah terus ditinggikan, biarlah saya musnah. Biasanya Daud berada di pihak yang ditekan, namun dia meminta pembenaran TUHAN, dia ditekan bukan karena bersalah, dia meminta pembenaran TUHAN, namun kini ketika dia sendiri bersalah, dia tetap meminta TUHAN dibesarkan dan pada gilirannya biarlah dia yang terkena tulah. Dalam bentuk positif kita melihat hal ini dalam Kristus Yesus Tuhan kita, ketika Petrus menarik Dia untuk tidak dianiaya, Kristus Yesus menghardiknya, Kristus melihat bahwa apa yang dipikirkan Allah, kehendak Allah harus diutamakan. Dalam pergumulan melihat wajah TUHAN ini Daud mengalami kesalahan, sebuah kesalahan yang juga terlahir dari cinta TUHAN. Daud melihat bahwa TUHAN tidak boleh ditentang, meskipun saat itu terlihat TUHAN sedang menekan dirinya. Ternyata Daud salah, Simei tidak diutus oleh TUHAN, namun kesalahan ini tidak mematikan Daud. Daud sudah mengambil keputusan berdasarkan hati yang memandang kepada TUHAN (berdasarkan God's moral will), kelihatannya secara God's decretive will dia salah, Simei tidak diutus Tuhan. Namun itulah bagian kita, kita tidak tahu apa yang diputuskan Tuhan kedepan namun justru disana kita beriman kepada Tuhan. Seringkali kita bukan takut salah dihadapan Tuhan, kita hanya takut bila salah memilih kerja, salah memilih sekolah untuk anak kita jadi kurang maksimal, ujungnya kita susah mendapat kerja dan susah untuk mencetak banyak rupiah. Kembali lagi pergumulan kita hanyalah pergumulan egoistik. Ketika kita berani benar-benar memikirkan kehendak Tuhan, hal itu berarti kita berani untuk melihat apa yang dikehendaki Tuhan dalam hidup kita sehari-hari termasuk berani untuk bergumul, berpikir dan mempertimbangkan dan memutuskan didalam iman kepada Tuhan yang hidup.

Selanjutnya, dalam 1 Raja-raja 2:8-9 Daud menyuruh Salomo untuk membunuh Simei, bukan karena dendam, namun karena Daud memandang kerajaan Tuhan yang kini diwakili oleh Salomo (sebagai raja). Ketika seolah Daud salah di dalam God's decretive will, Tuhan tetap memimpin. Kita perlu untuk berani di dalam memutuskan di dalam cinta kita kepada Tuhan. Sering kali kita tidak jujur di dalam memikirkan kehendak Tuhan ini. Kita berpura-pura bergumul akan kehendak Tuhan, apa yang harus saya kerjakan mengenai memilih pasangan hidup, mengenai memilih pekerjaan, mengenai sekolah; namun kehendak Tuhan yang sudah dinyatakan dengan begitu gamblang kita tidak mau kerjakan. Banyak hal yang kita sudah mengerti kehendak-Nya, Dia menghendaki kita untuk mengasihi, untuk mengampuni, untuk belajar Firman, itu adalah kehendak Allah, kita tidak peduli akan hal tersebut karena kita anggap kecil, namun kita berkata bergumul untuk kehendak Allah. Ini tidak jujur, kehendak yang sederhana pun kita lalai, lalu kita berkata akan melakukan kehendak Allah yang besar. Mari kita jujur di hadapan Allah, benar-benar bergumul akan kehendak Allah dan berani untuk beriman pada Nya di dalam cinta kita kepada-Nya yang telah terlebih dahulu mencintai kita.

GOD be praised!!!

Seminar Penciptaan




Triumphal Entry

Matius 21:1-17

Sebelum masuk kedalam pembahasan mari kita lihat situasi dimana pembaca mula-mula injil ini melihat bagian ini. Tanggal 25 Desember dicatat sebagai hari libur, bukan sekedar libur nasional namun bahkan libur internasional. Tanggal itu dirayakan sebagai salah satu hari raya Kristen yaitu hari raya natal, peringatan kelahiran Tuhan Yesus. Bahkan orang-orang non Kristen pun merayakan hari ini sebagai hari yang mana mereka bisa mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya, kita melihat mall penuh dengan pernak pernik bahkan lagu-lagu natal. Apakah ini menandakan bahwa kekristenan telah diterima luas, bukan!!! Ini hanya menandakan bahwa orang pada zaman ini semakin mencintai uang dan tidak segan-segan untuk memakai simbol-simbol agama untuk meraup keuntungan. Namun sesungguhnya ada peristiwa yang benar-benar penting pada tanggal 25 Desember, dan hal itu sangat membekas dalam pikiran orang-orang Yahudi pada zaman Tuhan Yesus. Sekarang 25 Desember adalah hari penting, hari dimana orang Kristen sibuk, hari dimana sms kreatif dari yang beres sampai yang bernada canda semata membanjir di HP kita, hari yang bila kita pikir kepentingannya sebenarnya memiliki signifikansi yang sangat remeh (kita sudah latah merayakan Natal mulai kita kecil). Sebaliknya pada tanggal 25 Desember lebih dari 2000 tahun lalu, tepatnya 25 Desember 167 sebelum Masehi (SM) orang-orang Yahudi dikejutkan dengan sebuah peristiwa besar.

Ini adalah 25 Desember pertama yang akan kita lihat. Ketika Israel bertubi tubi ditekan dibawah kuasa Babel, Media Persia serta Yunani. Alexander Agung sang pemimpin besar Yunani mati muda pada umur 33 tahun, (umur yang hampir sama dengan Tuhan kita Yesus Kristus dengan pencapaian besar namun dampak yang berbeda), kerajaan Yunani dipegang oleh 4 panglima nya yang kesemuanya bukan anak Alexander. Kekuatan tersebut pada akhirnya terbagi menjadi dua kekuatan besar yaitu dinasti Ptolemi di Mesir dan dinasti Seleukid di Siria. Mulanya Israel ditekan di bawah dinasti Ptolemi pada tahun 311-198 SM, dan setelah itu dinasti Seleukid pada198-164 SM. Pada masa dinasti Seleukid inilah pertanyaan iman yang begitu eksistensial dari sebuah bangsa yang mengaku memiliki iman dalam TUHAN semesta alam berhadapan dengan ketegangan yang sangat nyata. Janji, merupakan salah satu elemen terpenting dalam kehidupan iman Israel (dan kita). Mereka mengharapkan penggenapan janji hadirnya pertolongan dari pihak TUHAN namun kini mereka bahkan berhadapan dengan satu kekuatan brutal dan sangat kafir, Antiokus Epifanes. Pada zamannya, kekaisaran Romawi mulai bangkit sebagai kekuatan dahsyat yang siap menelan musuh; Romawi menekankan pembayaran yang berat pada Antiokhus Epifanes; disisi yang lain bervariasinya ras dan suku di bawah kekuasaan Epifanes membuatnya susah menyatukan visi bangsa terhadap daerah jajahan yang terdiri dari bangsa-bangsa yang sangat majemuk (termasuk Israel). Maka diapun menerapkan kebijaksanaan yaitu dengan membebankan pembayaran yang tinggi serta menyebarkan budaya Yunani kepada bangsa-bangsa dibawahnya termasuk Israel. Disini kita melihat satu tembok terjal yang menghadang Israel dalam berkukuh pada imannya. Dalam pengalaman fisik mereka sangat ditekan, dan dalam pengalaman beragama, mereka sangat ditekan untuk menjadi Yunani; Epifanes berharap dengan demikian dia dapat menghindarkan pemberontakan dari negara-negara dibawahnya. Tidak ada hal yang dianggap kudus baginya; bahkan dia menerapkan hukum yang sangat keras bagi orang-orang Yahudi; bukan sekedar penetapan mengenai pembayaran uang, namun juga dia menekan pelaksanaan aturan-aturan agamawi orang Israel. Dia melarang penyunatan, pengudusan hri Sabat, penyajian korban-korban di altar, dan setiap orang yang berani melanggarnya akan dibunuh dengan cara yang sangat kejam, pada waktu itu dia memasuki bait suci, dan mempersembahkan persembahan kepada Zeus, kitab Taurat yang ditemukan dirobek dan dibakar. Puncaknya dia bahkan mempersembahkan babi, binatang yang paling haram di dalam bait suci. Hal itu terjadi pada tanggal 25 Desember 167 SM. Hal ini dilakukannya untuk melebur ke Yahudian mereka, yang benar-benar lekat dengan praktek agama mereka sehingga mereka bisa memiliki visi yang sama dengan Epifanes. Orang-orang Yahudi mengaitkan kejadian ini dengan nubuat dalam kitab Daniel 11:31. Dalam kondisi sepeti itu, pengetahuan teologis benar-benar seolah diperhadapkan dengan suatu realita yang berbanding terbalik secara total.

Gempuran hebat pernah terjadi pada tanggal 25 Desember, dan kini momen 25 Desember itu sering kita jadikan momen untuk melakukan gempuran kembali dengan mengadakan penginjilan; apa yang bisa kita katakan selain bahwa itu adalah anugerah TUHAN, dan bahwa TUHAN senantiasa hidup dan berkuasa tidak peduli betapa miris keadan kita saat ini. Saya memberanikan diri sebagai hamba Tuhan untuk berkata, jangan takut untuk terus berharap, ketika kesulitan yang begitu pelik menimpa kita; jangan takut untuk berharap, Dia senantiasa hidup dan menang. Kisah tersebut begitu membekas dalam benak orang-orang Yahudi dan hal tersebut menimbulkan gerakan perlawanan yang begitu sengit. Posisi mereka semakin terjepit dengan adanya banyak orang Yahudi yang pada akhirnya degnan rela mengikuti Epifanes. Mereka yang bertahan terus percaya bahwa Allah akan bertindak, akan datang pertolongan yang datang dari Allah, dan hal tersebut menimbulkan banyak perlawanan yang satu persatu ditumpas. Dalam kondisi seperti inilah pengharapan akan Mesias semakin kuat dalam benak mereka. Saya ingin bertanya, ketika deraan yang begitu menekan kita datang, kepada siapa kita berharap??? Sering kali mungkin ketika masalah datang kita berpikir mengenai solusi, kita berpikir untuk meminjam uang, kita berpikir tentang dokter yang baik, kita mencari backing, kita tidak berreaksi secara spontan mengharapkan Allah. Dunia modern sudah sangat kuat mengajarkan kita untuk bergantung pada diri sendiri. Sampai pada suatu titik Tuhan membawa kita untuk mengerti bahwa kita tidak bisa berharap kepada siapapun juga selain kepada-Nya. Ketika ada tekanan yang menerpa begitu berat sehinga kita benar-benar tidak memiliki jalan lain, mari kita bersyukur, sangat mungkin Tuhan sedang ingin mendidik kita, kita mungkin udah terlalu sering mengandalkan diri sendiri atau teman-teman sehingga Tuhan membawa kita pada kondisi tidak berpengharapan supaya kita mendongakkan kepala kepada-Nya.

Seorang imam bernama Matatias bin Yohanan dipaksa untuk mempersembahkan persembahan kepada allah Yunani dan dia menolaknya, bahkan dengan kegeraman yang memuncak dia membunuh baik orang Yahudi yang kompromistik maupun prajurit Yunani yang ada disana. Setelah peristiwa itu dia melarikan diri bersama kelima anaknya di padang gurun dan merancangkan pemberontakan. Setelah kematian Matatias pada tahun selanjutnya maka putera ketiganya yang bernama Yudas yang disebut Makabeus (palu, godam) memimpin pemberontakan. Menghadapi pasukan yang jauh lebih banyak, Tuhan memberikan beberapa kemenangan besar kepada Makabeus. Pada tanggal 25 Desember 164 BC, tepat 3 tahun setelah Epifanes menajiskan bait suci, dia memasuki Yerusalem dan berseru “Hosanna!!!”, setelah itu dia memasuki bait suci, membersihkannya dari altar dewa-dewa asing. Sebuah peristiwa yang begitu mirip dengan apa yang dicatat oleh Injil Matius ini. Peristiwa ini begitu besar sehingga tidak ada satupun dari keempat penulis Injil yang melewatkan, ketika Tuhan Yesus melakukan hal yang mirip. Bahkan dari susunannya juga penulis-penulis Injil begitu mirip kecuali Yohanes yang memberikan pembersihan bait suci di depan-depan bagian injilnya. Setelah era Seleukids disingkirkan, Israel mengalami masa merdeka sejenak pada zaman Hasmonean, yaitu dinasti dari anak dari kakak tertua Yudas yang bernama Simon. Peristiwa ini begitu penting dalam masyarakat Yahudi, mereka mengingat kembali bagaimana kumpulan budak yang tidak bisa berperang dikeluarkan Tuhan dari kekuatan Mesir yang begitu dahsyat. Sayangnya periode ini tidak berlangsung lama. Raja-raja Hasmonean tidak berpaut kepada Tuhan seperti Yudas. Kekuatan Roma lewat Ptolemi menginfasi Israel pada tahun 63 SM dan Israelpun memasuki periode paling kelam dalam sejarahnya. Mereka ditindas dibawah kekuatan yang paling sadis dan brutal. Dalam kondisi seperti inilah Kristus Yesus hadir. Dia tidak datang dalam kondisi nyaman, seperti polisi-polisi dalam film action holywood. Dalam film biasanya polisi datang setelah penjahat diringkus oleh sang jagoan. Kristus Yesus datang dalam kondisi yang paling terpuruk, inilah seorang pemimpin. Apakah kita akan pergi dan mencari tempat aman, Kristus datang di dalam kondisi yang paling tidak aman, dan kuasa-Nya yang besar mengalahkan kerusakan tersebut.

Matius secara khusus menuliskan kejadian ini dalam Injilnya dan hal ini memberikan provokasi mengenai Mesias yang diharapkan Israel. Makabeus pernah melakukan hal serupa, memberikan dampak yang berlangsung sekitar 80 tahun. Sekarang mari kia lihat ada orang lain yang melakukan hal yang serupa, apakah dampaknya, berapa lama efeknya akan bertahan??? Dikisahkan disini Yesus mengendarai keledai. Hal ini langsung dikaitkan dengan Zakharia, sekali lagi mengenai nubuatan Mesianis. Matius tidak mencatat kegemilangan Makabeus yang menyandang pedang, namun mencatat Yesus yang mengendarai keledai. Sebuah kondisi yang dipakai Matius dengan sangat cerdas, dia ingin menggambarkan bahwa Mesias yang diharapkan ada disini, namun memang dengan gaya yang berbeda. Mereka berteriak Hosana bagi Anak Daud. Kata Hosana ini berarti seruan untuk minta keselamatan hal itu dikutip dari Mazmur 118. Makabeus berteriak Hosanna, memohonkan keselamatan, namun kini orang-orang berseru Hosana ketika Yesus ada disana. Dan ketika Dia memasuki Yerusalem, gemparlah seluruh kota. Ini sangat unik, Yesus telah melakukan banyak sekali hal namun yang terpenting seolah belum dilakukan-Nya, yaitu menyandang pedang. Sering kali kita gagal melihat yang penting dan yang kurang penting, yang penting bagi kita seringkali tidak penting bagi Tuhan. Kita menganggap uang terlalu penting, kedudukan, gengsi terlalu penting, namun Tuhan menganggap relasi dengan Diri-Nya lah yang terpenting. Kita akan melihat apa hal penting yang dikerjakan oleh sang Mesias, namun kurang ditangkap oleh orang-orang Yahudi waktu itu. Seperti Yudas, yang dilakukan oleh Yesus adalah membersihkan bait suci. Makabeus membersihkan bait suci dari penyembahan berhala dan kini Kristus membersihkannya dari para pedagang yang memanfaatkan kegiatan keagamaan untuk mencari uang. Manipulasi agama demi cinta uang ternyata sudah ada sejak zaman dahulu. Dia melakukan tindakan penyembuhan serta mujizat-mujizat. Namun kita melihat sebuah reaksi yang begitu mengejutkan. Imam-imam kepala dan para ahli Taurat dongkol kepada Yesus. Para imam kepala banyak berasal dari golongan Saduki yang sudah merasa cukup nyaman dengan status quo mereka. Mereka memiliki kedudukan yang relatif lumayan karena mereka bersikap lebih terbuka terhadap pemerintahan Romawi; tidak heran golongan Saduki ini sangat bermusuhan dengan golongan Farisi yang begitu anti terhadap orang asing. Kita melihat bahwa kini musuh bersama mereka (Yesus) akan dinobatkan sebagai raja. Mereka tidak terima, meski hal tersebut bukan dilakukan Tuhan Yesus dengan tanpa tanda. Dia menyembuhkan banyak orang sakit. Apakah tanda, apakah mujizat membuat orang percaya, tidak!!! mujizat akan membuat orang semakin jengkel ketika mujizat tersebut tidak berpihak kepada mereka. Bukankah hal tersebut juga terjadi pada diri kita??? Kita mungkin bisa berkata luar biasa pekerjaan Tuhan ya, ketika tetangga kita mendapatkan pertolongan Tuhan, namun dengan sangat hambar. Bayangkan bila kita miskin, kita mengalami kesulitan, anak kita sakit, dan terus tetap berada dalam kondisi demikian, sementara itu saudara segereja kita baru saja mendapatkan promosi dalam pekerjaannya, dan anaknya yang sakit keras tiba-tiba mendapatkan mujizat Tuhan dan sembuh. Bukannya penderitaan kita sedikit berkurang karena adanya berita baik itu, kita malah dongkol, kita menjadi sebal, kita hanya bisa menerima mujizat Tuhan bila hal itu menyenangkan kita. Sesungguhnya kita tidak berharap kemuliaan Tuhan dinyatakan, namun kita hanya mengharapkan pertolongan-Nya saja. Matius dengan sangat cerdas namun menusuk memasukkan orang kafir, yaitu kepala prajurit yang mengakui Yesus sebagai Anak Allah. Namun justru mereka yang mengaku ahli Taurat justru degil hati, orang yang berada dalam pengharapan Mesianis yang sangat lama justru menolak, sangat ironis; mereka hanya mau apa yang mereka mau. Ini sama sekali berlawanan dengan spirit Yesus. Mujizat Kristus diberikan dan membuat orang terhenyak, mujizat-Nya adalah: Anak Allah , Yesus masuk ke kota Daud, dielu-elukan, memantik kembali pengharapan untuk kesekian kalinya yang sebelumnya senantiasa gagal, mengingatkan akan revolusi Yudas Makabeus. Dia diurapi,namun bukan seperti Daud yang diurapi oleh Samuel, bukan sepert Yehu yang diurapi oleh Elisa, Dia diurapi bukan oleh nabi, bukan oleh imam, namun oleh manusia second class yaitu perempuan. Dia diurapi bukan selanutnya untuk masuk ke dalam istana mewah, namun pengurapan-Nya adalah persiapan penguburan. Tahta-Nya adalah seonggok kayu kasar. Namun mari kita lihat, Yesus menjadi raja bukan untuk membebaskan rakyat dari kemiskinan, bukan untuk membebaskan rakyat dari penjajahan Filistin atau Babel. Atau Romawi, Dia naik tahta untuk membebaskan kita dari tawanan iblis, Dia naik ke tahta untuk menghidupkan kita yang telah mati ini; bangkai-bangkai diri kita yang terus membusuk ini dihidupkan kembali di dalam Yesus Kristus, sang Raja yang disalibkan. Inilah jawaban Mesianis, Yesus menunjukkan karya-Nya yang begitu agung, Dia menjadi Raja dan yang dilakukan-Nya adalah membersihkan bait suci, membersihkan kediaman Allah. Inilah yang dipandang-Nya penting, bukan kedudukan bukan uang, bukan popularitas. Bagaimana dengan kita, apa yang menjadi fokus hidup kita, apa yang kita harapkan, adakah kita berharap nama Tuhan ditegakkan??? mari mengingat bahwa Yesus membersihkan bait suci, inilah fokus pelayanan-Nya, bahkan tuduhan terhadap bait suci inilah yang mewarnai perjalanan-Nya menuju tiang hukuman itu. Paulus mengatakan bahwa kita ini, gereja Tuhan inilah bait suci, kediaman Allah, yang melaluinya Allah memerintah; bait ini menjadi fokus yang sangat penting dalam pelayanan Kristus Yesus, Yesus lah bait yang sejati itu, kepenuhan Allah ada di dalam-Nya, dan selanjutnya kitalah bait itu, yaitu tubuh Kristus yang melaluinya kehendak Allah digenapkan, masihkah kita mau mencemarkan bait ini, masihkah kita memenuhinya dengan kecemaran, dengki, iri hati, cinta uang, dsb??? Ingatkah kita karya pembersihan Tuhan kita difokuskan pada pembersihan bait ini??? (KK)

GOD be praised!!!

Thursday, September 10, 2009

Allah berkuasa (bahkan) di goa singa (sekalipun)!!!

Daniel 6

Sejarah bukanlah sekedar sekumpulan fakta mentah yang disusun sedemikian rupa untuk menyatakan rangkaian peristiwa yang kasat mata. Satu rangkaian peristiwa disusun dalam catatan tertentu untuk menyatakan sesuatu hal. Kitab Daniel ini mengungkapkan rangkaian kejadian yang bukan sekedar rangkaian peristiwa namun menyatakan sebuah realitas yang mencengangkan. Peristiwa-peristiwa yang disusun dalam kitab Daniel ini mengurung kita kepada kekaguman yang besar dan semestinya mendorong kita untuk larut dalam takut kepada Allah dan hanya kepada Allah saja. Kitab Daniel ini memberikan satu warna yang unik dalam literatur para nabi; memberi semacam siraman yang menyegarkan ditengah-tengah tanah kering. Ketika kita melihat letak kitab Daniel ini, kita melihat posisinya sebagai salah satu kitab para nabi. Kitab-kitab para nabi sebagian besar berbicara mengenai hardikan terhadap bangsa Israel (atau terhadap bangsa-bangsa lain) yang berdosa. Para nabi TUHAN memang dibangkitkan pada kondisi yang suram, ketika raja bertindak melawan TUHAN, ketika para imam berlaku fasik, ketika rakyat berbuat jahat, melupakan hukum TUHAN; pada zaman seperti inilah para nabi dibangkitkan. Dengan demikian maka berita para nabi pada umumnya adalah berita mengenai hardikan terhadap ketegar tengkukan rakyat, dan pada umumnya para nabi juga menubuatkan mengenai restorasi pasca penghukuman TUHAN. Para nabi menghardik dan menyatakan bahwa penghukuman Tuhan akan datang, sebuah berita yang terkadang terlihat tidak kontekstual. Pada zaman raja Uzia, kondisi Yehuda sedang mengalami kemakmuran, namun bangsa tersebut jahat dan membelakangi TUHAN; bangsa itu tidak peka akan kebejatan dan dosa-dosa mereka, karena itu nabi yang memberitakan kehancuran menjadi semacam lelucon bagi telinga yang tegar tengkuk. Sering kali ketika hidup kita mengalami hal yang baik, kita tidak peka terhadap dosa-dosa kita, dan kita tidak suka bila ada orang yang mengritik atau menegur kita, terlebih lagi ketika kondisi kita sedang baik-baik saja. Itulah konteks kitab para nabi, menegur bangsa yang tegar tengkuk, yang tidak mendengar hardikan, sebaliknya menebarkan ancaman maut kepada para nabi tersebut. Para nabi mengusung berita yang begitu mengerikan, berita mengenai kehancuran, mengenai dicabutnya mereka dari tanah yang dijanjikan oleh TUHAN Allah sendiri.

Kemenangan membawa suatu sensasi kepuasan tersendiri, sebaliknya kekalahan akan membawa keperihan terlebih lagi bila kekalahan tersebut terjadi di wilayah kekuasaan sendiri. Minggu lalu kita melihat satu keunikan bangsa Israel yaitu bahwa Allah Israel adalah Allah yang tinggal bersama-sama dengan mereka, dan bait suci yang dibangun pada zaman Salomo menjadi sebuah pengingat yang besar bahwa Allah tinggal bersama umat-Nya. Allah bukan dikurung di dalam bait tersebut (Salomo telah menyatakan hal tersebut di dalam doanya 2 Taw 6:18). Di dalam bait suci tersebut ada ruangan maha kudus, dan didalam ruang maha kudus tersebut diletakkan tabut Allah, disini dinyatakan bahwa Allah hadir dan tinggal bersama dengan umat-Nya. Bait tersebut berdiri di Yerusalem, pada tanah yang telah dijanjikan Allah untuk diberikan kepada umat-Nya. Konsep tanah ini sangat penting dalam pandangan Yahudi, kita bisa melihatnya bahkan hingga saat ini orang-orang Yahudi tidak berhenti berperang untuk memperebutkan “tanah”. Hal ini bukan sekedar urusan bagi wilayah, ini menyangkut penggenapan janji TUHAN. Kita mengingat bagaimana Nabot menolak untuk menjual tanahnya kepada Ahab sehingga dengan kelicikan Izebel, Nabot pun dibunuh (1 Raj 21). Dengan mengerti hal ini kita bisa mengerti betapa perihnya berita para nabi yang mengatakan bahwa mereka akan dihalau dari tanah tempat mereka tinggal, tanah yang dijanjikan sendiri oleh Allah, tempat dimana TUHAN sendiri hadir diantara mereka. Nabi-nabi berteriak dengan berbagai cara, untuk menyatakan bahwa mereka akan diseret keluar dari tanah tempat mereka tinggal. Dari tanah mereka, dari kandang mereka, mereka akan dikalahkan dan diangkut keluar. Ini sangat mengerikan dan menyakitkan. Pembuangan menjadi satu masalah yang melahirkan pertanyaan teologis yang sangat besar dalam benak orang Yahudi. Bila TUHAN adalah TUHAN semesta alam yang mengatasi segala sesuatu, dan Israel adalah umat Allah, mengapa kini kami diangkut tertawan oleh musuh, bahkan oleh orang yang tidak menyembah kepada TUHAN???

Pertanyaan ini disambut dengan sangat berani melalui jawaban lantang kitab Daniel. Kitab Daniel mengatakan bahwa bukan TUHAN yang gagal, bukan TUHAN yang kalah, selanjutnya Daniel menyatakan bahwa di tanah Babel, dikandang orang-orang yang tidak percaya kepada TUHAN, dikandang Nebukadnezar, Darius, bahkan di dalam goa singa bukan mereka yang berkuasa melainkan TUHAN semesta Alam. Ketika dalam hidup ini kita melihat bahwa situasi sangat menekan, musuh sangat kuat, kita perlu memiliki kejelian seperti Daniel yang melihat bahwa TUHAN tetap Raja yang berkuasa dan senantiasa menang. Dalam sejarah dunia yang begitu ramai dengan hingar bingar peperangan sebenarnya kisah Yehuda ditaklukkan oleh Babel hanyalan sebuah cuplikan kecil ditengah hiruk pikuk peristiwa yang lain. Bangsa berperang dan mengalahkan lainnya; pada zaman raja Zedekia, Yehuda dikalahkan oleh Nebukadnezar, itu adalah satu dari peristiwa yang lain, namun Daniel mencatat bahwa ini adalah keperkasaan TUHAN. Literatur kitab ini menjadi sebuah tarian yang gagah ditengah kondisi yang terlihat sangat kelam. Pada zaman Zedekia, Yerusalem mengalami kekelaman yang begitu dahsyat, Yerusalem dikepung dan ketika kelaparan merajalela, tembok Yerusalem dibelah dari dalam dan para tentara melarikan diri, sementara itu raja Zedekia tertangkap dan dihadapkan kepada raja Babel, anak-anak Zedekia dihabisi dihadapan mata kepalanya sendiri dan setelah kejadian memilukan tersebut berhasil direkam melalui matanya, maka mata itu dibutakan dan diapun dibelenggu serta ditawan. Setelah itu Nebuzaradan – kepala pasukan pengawal – menghancurkan Yerusalem, membakar bait suci dan rumah raja, kota itu dihanguskan dan hanya rakyatnya diangkut (1 Raj 24:18 – 25:21). Namun hal ini tidak menciutkan iman Daniel bahwa TUHAN tetap Allah yang berkuasa, bagaimana dengan kita??? Sadarkah kita bahwa kondisi yang pelik tidak semestinya menggentarkan kita, ada penyakit, ada kesulitan, ada tekanan, namun hal tersebut tidak semestinya membuat kita terkejut dan takut, sebaliknya kita harus melihat bahwa tetap TUHAN yang kuatlah yang berkuasa.

Daniel memulai provokasi pada awal kitabnya (1:1-2) dengan menyatakan bahwa bukan Nebukadnezar namun Tuhan yang menyerahkan Yoyakim ketangan Nebukadnezar. Ketika mendengar nama Nebukadnezar, kita perlu mengingat bahwa nama tersebut adalah nama yang begitu besar. Yang sangat berkuasa pada waktu itu bukan lagi Asyur, namun Babel, dan raja adi kuasa tersebut adalah Nebukadnezar. Hal tersebut tergambar dengan jelas pada mimpi yang meresahkan hatinya, yaitu bahwa kepala emas itulah dia. Nemun Daniel langsung merombak opini umum pembaca mengenai kekuatan Nebukadnezar kepada kekuatan TUHAN.Yehuda kalah bukan karena Nebukadnezar kelewat kuat namun karena Tuhan menyerahkan Yoyakim kedalam tangannya. Ketika seluruh sejarah mencatat bahwa Nebukadnezar mengalahkan Yehuda, Daniel menyatakan dengan sangat jeli bahwa itu adalah pekerjaan Tuhan. Daniel melanjutkan dengan gemetarnya lutut Nebukadnezar oleh karena mimpi yang menghantuinya. Ketika semua gambaran mengenai Nebukadnezar adalah gambaran yang dahsyat, Daniel mencantumkan gambaran Nebukadnezar yang bergetar ketakutan karena mimpi, gelisah dan terjangkit insomnia. Diapun mengumpulkan para ahli jampi, ahli sihir dan para Kasdim, membuat mereka kalang kabut dengan permintaannya untuk memberitahukan bukan sekedar arti namun isi mimpinya sendiri. Dan ketika amarahnya tidak terbendung lagi sehingga mengakibatkan rusuh di seluruh negara, maka Daniellah (yang disertai oleh TUHAN) yang memberitahukan arti mimpi tersebut. Daniel mencatat perkataan para Kasdim tersebut bahwa tidak seorangpun bahkan para dewapun tidak akan mampu untuk melakukan seperti yang diminta oleh Nebukadnezar (2:10-11), namun di sorga ada Allah yang menyingkapkan rahasia-rahasia (2:28). Cerita yang disusun oleh Daniel dilanjutkan dengan bagaimana sang raja besar harus mengakui bahwa Allah Sadrakh, Mesakh, Abednego adalah Allah yang hidup melintasi segala sesuatu, belum cukup sampai disana, kebesaran Nebukadnezar harus dilucuti hingga titik yang paling nadir hingga hidup layaknya binatang. (ps 4). Betapa raja besar ini hanyalah sekeping kotoran dihadapan Tuhan. Belsyasar yang bertingkah congkak hingga memandang remeh perkakas bait suci juga harus terhenyak ketika menyaksikan tulisan di dinding yang lagi-lagi harus Daniel yang menafsirkannya, serta dia harus menemui ajalnya pada malam itu (ps 5).

Setelah Babel lewat, maka yang memerintah adalah kerajaan Media-Persia, pada masa inilah setting Daniel 6 yang kita baca ini dikisahkan. Pada zaman raja Darius, setiap keputusan yang tertulis tidak dapat dibatalkan. Daniel - seorang politikus yang sangat dipercayai oleh Darius - sangat dibenci oleh para pejabat tinggi sebab Daniel sangat dipercayai. Inilah sikap anak Tuhan yang sejati, menjaga kemurnian hidup dan menyatakan bahwa Allah berkuasa sehingga dia pun sangat dipercayai. Dua minggu lalu kita melihat bahwa orang Kristen semestinya menjadi show case Allah mengenai bagaimana semestinya manusia hidup. Hal tersebut dijalankan oleh Daniel, dan karena hal itu dia dibenci. Pada zaman sekarang sering kali orang membenci orang Kristen bukan karena kesalehan dan integritasnya namun karena kebobrokannya, ini sungguh celaka. Para pejabat tidak mampu mendapati cacat pada diri Daniel dalam bidang pekerjaannya, karena itu dia diserang langsung pada pusat imannya. Raja menyetujui permohonan yang diajukan mereka dengan berbohong bahwa semua telah sepakat untuk menjatuhkan hukuman kepada siapapun yang memohon kepada siapapun selain kepada raja. Namun hal tersebut sama sekali tidak menggentarkan hati Daniel. Dia tetap seperti biasa berdoa menghadap Tuhan pada kamar atasnya yang menghadap ke Yerusalem. Pada zaman Darius, Yerusalem sudah dihancurkan, bait suci telah dibakar (pada zaman Babel, kini telah masuk zaman Media-Persia); namun apakah Daniel berpikir bahwa Allah telah kalah??? Tidak!!! Daniel tentu tahu bahwa bait suci telah dibakar, namun dia tetap berdoa menghadap ke Yerusalem, dia tahu bahwa Allah tidak pernah kalah. Sekali lagi, yang terpenting bukanlah kiblatnya (kita tahu bahwa bait itu sudah dibakar), namun Allah tetap hidup, dan dalam doa Salomo pada 2 Taw 7:37-38 kita mengingat bahwa ketika mereka berdosa dan dihukum Tuhan dengan diangkut tertawan ke negeri musuh, dan ketika mereka memohon menghadap ke bait tersebut maka Tuhan kiranya mendengar doa mereka. Tindakan Daniel berdoa adalah ketajaman mata iman yang menembus realita yang terlihat mata, yang melukiskan kekalahan. Tuhan tidak pernah lengser, Tuhan tidak pernah gagal, yang ada adalah kita sering gagal untuk melihat kepenguasaan Tuhan karena pandangan kita hanya sempit pada hal-hal yang terlihat mata saja. Daniel tidak bisa digetarkan oleh kengerian yang menghadang di depan matanya, bagi dia goa sianga bukanlah teror, Daniel akan merasa terteror bila dia berhenti berdoa, bila dia berhenti bersekutu dengan Allahnya. Apakah yang menjadi teror bagi kita??? Miskin, sakit, lelah??? Biarlah hal tersebut kita tertawakan, kita lecehkan, jangan biarkan hal tersebut menjadi teror bagi diri kita, namun kita takut bila kita berdosa, kita takut Allah murka, kita takut menyakiti Tuhan yang mengasihi kita, kita takut ditinggalkan oleh-Nya.

Raja Darius menjadi sedih karena orang yang paling dipercayainya kini harus dihukum mati. Dia terus mencari akal untuk membebaskan Daniel. Namun undang-undang menyatakan bahwa hukum tersebut tidak dapat dibatalkan, tidak ada yang dapat menolong Daniel, bahkan raja pun tidak sanggup menolongnya. Namun Daniel menyatakan bahwa Allah telah menolongnya. Daniel menjawab Darius yang bertanya kepadanya pada pagi harinya dengan menjawab dengan lantang bahwa Allah telah mengirimkan malaikat untuk mengatupkan mulut para singa tersebut. Kita melihat di tanah buangan, ketika semua penguasa tidak mampu bertindak, bahkan raja di tempat Daniel dibuangpun tidak mampu berbuat banyak, TUHAN tetap adalah Allah yang mengatasi segala sesuatu dan senantiasa menang. Dalam dunia ini, kekristenan ortodoks tidak mencatat data statistik yang terbanyak, kita melihat kerusakan dan kehancuran, kemerosotan moral dan sebagainya, namun hal ini tidak akan pernah menggentarkan kita, sebab di dalam dunia yang terlihat dikuasai oleh kejahatan ini, tetap yang berkuasa adalah Allah. 6:26-28 memaparkan pengakuan iman yang bersifat sangat doksologis. Darius, si orang Media itu menyatakan kemuliaan Allah, menyatakan betapa besarnya Allah. Dan hal itu diikuti dengan perintah untuk takut dan gentar hanya kepada Allahnya Daniel. Hal ini sesungguhnya menjadi templakan bagi kita. Darius mengirimkan surat perintah untuk orang takut dan gentar pada Allahnya Daniel. Sadarkah kita bahwa Allahnya Daniel adalah Allah kita juga??? Mengapa dari mulut orang kafir justru terucap pengakuan iman dan kegentaran kepada Allah kita, sementara melalui diri kita yang adalah anak-anak Tuhan justru nama Tuhan sering kali dipermalukan??? Mengapa dari mulut kita tidak terucap pengakuan iman yang jujur akan kebesaran-Nya, sementara kita hanya sering latah saja melafalkan segepok kalimat bahwa Tuhan itu mulia??? Biarlah ini menjadi tamparan keras pada jantung iman kita, dan ini mendorong kita untuk hidup mempermuliakan Allah. Dia adalah Allah yang hidup dan berkuasa, tiada yang seperti Dia, dan Dia adalah Allah kita, biarlah keberadaan diri kita senantiasa menyaksikan kemuliaan Allah saja. Amin.

GOD be praised!!!