Thursday, August 26, 2010

Datanglah kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu...

Konsep mengenai Kerajaan adalah sebuah konsep yang bersifat sangat Yahudi dan tentu saja sangat Kristen. Meski dalam Perjanjian Lama tidak terdapat frasa Kerajaan Allah, namun Perjanjian Lama dibanjiri dengan konsep ini, yaitu konsep mengenai merajanya Allah dibumi ciptaan milik Allah atas Israel dan sedang menuju seluruh dunia ciptaan milik Allah ini. Sekali lagi, Allah meraja, meraja atas Israel dan seluruh ranah ciptaan. Satu orang yang begitu dibanggakan oleh orang Israel adalah Daud yang adalah Raja. Raja adalah seorang yang memangku kuasa dari Tuhan; dan disini Raja menentukan sebuah bangsa menang atau kalah dalam sebuah peperangan, raja menentukan rakyat hidup makmur atau miskin, tertindas atau merdeka. Ini sebuah konsep yang berbeda dengan republik atau perserikatan; di dalam kerajaan rakyat dituntut untuk tunduk kepada raja dan tidak jarang dalam konsep Timur Dekat Kuno raja dianggap sebagai anak dewa atau allah atau bahkan raja memiliki unsur keilahian tertentu. Kita akan menelusuri secara singkat perjalanan pembentukan pemikiran bangsa Israel mengenai kerajaan yang akhirnya diafirmasi oleh Tuhan Yesus dan diteruskan oleh para rasul dan yang secara tragis bermetamorfosis ditengah terpaan filsafat Yunani yang bersifat dualistik dan diadaptasi oleh gereja-gereja Barat yang cara pikirnya kita warisi hingga saat ini, yang mana hal tersebut banyak mengebiri jati diri gereja sebagai warga kerajaan yang menang dan senantiasa menang.

Pertama, kita melihhat dari kitab Daniel. Daniel saya percaya merupakan satu kitab yang membekas begitu kuat di kalangan orang Yahudi, bukan sekedar karena kisah heroik Daniel yang menciutkan para singa ataupun para jagoan super berani yang bersantai di dalam dapur api. Daniel menawarkan konsep yang begitu khas, yaitu bahwa ketika Nebukadnezar dipandang sebagai raja yang paling berkuasa, Daniel menyatakan bahwa raja seperti ini harus bertekuk lutut, bertingkah seperti binatang, menjadi susah tidur, bertindak luar biasa gila, dan harus “ditolong” oleh seorang tawanan dan pada akhirnya harus menyatakan bahwa TUHAN lah Allah, Dia lah Raja. Mengamati kitab Daniel dalam kanon septuaginta yang ditempatkan diantara kitab para nabi pun kita sudah mendapatkan suatu gambaran yang sangat triumphalistik. Diantara kitab para nabi yang menyatakan penghukuman TUHAN atas Israel yang mana Israel akan dibuang, Daniel menyatakan bahwa di tanah buangan, TUHAN tetap yang berkuasa; meski bait suci hancur, Yerusalem hancur hal itu bukan berarti kemenangan Babilon atas Israel atau allah-allah Babilon atas Allah Israel, namun sebaliknya bahwa di tanah pembuangan tersebut, sang raja paling besar harus bertelut dihadapan Allah melalui orang-orang buangan tersebut. Nebukadnezar, Belsyazar, Darius, saiapapun raja yang memerintah di sana, kitab Daniel memberikan gambaran bahwa yang memerintah dan berkuasa bukan mereka namun TUHAN Allah Israel, berita pertama yang harus kita camkan: TUHAN yang bekerja dan menampakkan keperkasaan di dalam kitab Daniel adalah TUHAN yang hidup sampai sekarang, pertanyaannya adalah apakah Dia benar-benar Tuhan buat kita??? Ataukah secara tragis sebenarnya kita mengabdi kepada raja lain seperti pekerjaan kita, uang, anak, keluarga, teknologi, proyek-proyek besar atau bahkan pelayanan kita???

Dalam kitab Daniel 7 kita mendapatkan gambaran mengenai Anak manusia yang pergi kepada Yang Lanjut Usia dan Anak Manusia tersebut diberikan kuasa untuk menjadi Raja yang mana kekuasaan-Nya adalah kekal sampai selamanya. Bayangkan ditengah kitab yang berkata tentang beberapa kerajaan utama yang sangat besar muncul satu berita mengenai Anak manusia yang menjadi raja. Aktor utamanya bukanlah Nebukadnezar, bukan Darius atau Belsyazar, bukan pula Daniel bahkan, namun Anak Manusia ini. Maka ketika Tuhan Yesus datang dan membawa menyatakan diri sebagai Anak manusia bisa kita bayangkan apa yang ada pada benak pendengar pada waktu itu. Banyak orang Kristen sekarang yang membaca frasa Anak Manusia lepas dari konteks kitab Daniel, menyatakan bahwa Anak Allah mnyatakan keilahian Tuhan Yesus, Anak manusia menyatakan kerendah hatian, menyatakan kemanusiaan Tuhan Yesus. Namun sebenarnya ketika Kristus Yesus menyatakan Anak Manusia maka konsep ini langsung menyusup pada pikiran orang Yahudi yang sangat dipengaruhi oleh kitab Daniel ini, disini frasa Anak manusia merupakan highly messianic title. Tidak heran, para murid menjadi begitu bersedih dan susah ketika Dia berkata Anak Manusia akan diserahkan dan menderita. Anak manusia menjadi raja, ditengah gambaran mengenai binatang-binatang buas yang hebat besar dan berkuasa, ditengah-tengah bangsa yang menang, ditengah raja yang berkuasa Daniel menceritakan mengenai Anak Manusia yang menjadi raja dan kekuasaan-Nya adalah kekuasaan yang kekal dan tidak berubah. Kini saya ingin mengajak kita untuk merenung, bila sang Anak Manusia telah dinyatakan 2000 tahun lalu, dan Anak Mnnusia tersebut adalah Raja yang menentukan makmur-susah, menang-kalah kita; apakah benar seluruh hidup kita bergantung pada Dia??? Adakah tekanan besar ketika kita berdosa dan merasa jauh dari Dia, adakah sukacita besar ketika kita diijinkan untuk berbagian dalam melayani dan bekerja bagi Dia??? Coba pikirkan mana yang lebih membanggakan kita mendapatkan kewarganegaraan USA atau Inggris, berhasil masuk dalam Harvard University, atau menjadi warga kerajaan yang mana sang Anak manusia menjadi raja??? Ah jangan-jangan memang si Anak Manusia tersebut Raja, namun Dia belum benar-benar menjadi Raja kita. Sekali lagi Jangan-jangan yang menajdi raja, yang menentukan menang kalah kita, hidup mati kita adalah binatang-binatang, atau raja-raja dunia, entah Nebukadnezar, Darius, atau perusahaan-perusahaan internasional, atau nama bos kita, atau pekerjaan kita, atau bahkan pelayanan kita.

Kita lanjut masuk kedalam Perjanjian Baru diamana Sang Anak Manusia telah terang-terangan menyatakan Diri, bahkan Dia menyatakan bahawa ketika setan diusir pada saat itulah Kerajaan Allah datang diantara mereka (Mat 12:28). Kalimat ini yang menjadi gap besar antara kekristenan asali dengan konsep Yahudi yang tersesat dan kristen Injili abad ini yang banyak dipengaruhi oleh abad pertengahan. Tuhan Yesus menyatakan bahwa kerajaan Allah adalah diusirnya setan, sementara orang Yahudi menganggap bahwa kerajaan Allah adalah suatu kondisi dimana keadaan seperti zaman Salomo terulang bahkan dengan lebih genap, semua bangsa bertekuk lutut dibawah raja Israel. Dengan konsep demikian tidak heran bhawa begitu susah bagi mereka untuk menerima Mesias yang dari golongan Zelot bukan, menyandang pedang tidak, mengendarai kuda juga tidak, menghajar kaisar tidak, menyingkirkan pezinah juga tidak. Ini Raja macam apa??? disisi yang lain, berbeda juga dengan konsep Injili terlebih yang dikawin campur dengan agama sesat dunia hedonistis yang gila. Sorga adalah suatu tempat disana dan di suatu hari, dimana disana tidak bersifat material, atau sorga berisi berbagai kesenangan seperti kesejukan, kolam renang mobil mewah dsb. Coba kita tanya bayangkan sorga, kalau disuruh memberi visualisasi kita akan membayangkan satu tempat yang penuh warna putih, dan berhawa sejuk bukan??? Sorga bukanlah tentang melayang-layang diawan dengan baju putih dan harpa ditangan. Sesungguhnya sorga adalah dikalahkannya setan, membuat manusia yang membawahi seluruh ciptaan untuk menjalankan kehendak Allah secara genap dan penuh.

Konsep ini belum dimengerti oleh para murid, namun Tuhan terus sabar. Dalam kitab Kisah Para Rasul dikatakan bahwa setelah kebangkitan masih saja terus dan berulang-ulang Tuhan Yesus mengajar mereka mengenai Kerajaan Allah (1:3). Pada hari-hari terakhir Tuhan Yesus sebelum Dia terangkat ke sorga, Dia mengajar mengenai kerajaan Allah, disini kita melihat bahwa konsep ini sangat penting. Perhatikan bahwa dalam Injil Lukas, Dia menyatakan bagaimana Tuhan Yesus menyatakan bahwa Kerajaan Allah tersebut datang dalam diri Tuhan Yesus, dan dalam Kisah para Rasul, Lukas menyatakan bagaimana Kerajaan Allah yang sudah datang tersebut dilanjutkan oleh para rasul. Kerajaan Allah adalah sebuah realita besar (yang begitu ditekankan dalam keseluruhan Alkitab) dan kedatangannya yang sudah terjadi dan terus berlangsung adalah realita yang lebih besar lagi. Masih dengan format Yahudi murid-murid bertanya maukah pada masa ini pulihkan kerajaan Israel, terhadapa pertanyaan yang salah ini Tuhan Yesus menjawab tidak perlu tahu waktu, namun Tuhan Yesus menjawab; IYA pulihlah kerajaan tersebut, bagaimana pulihnya??? Kamu akan menerima kuasa. Inilah kepulihan kerajaan tersebut, NT Wright menyatakan kerajaan tersebut dimulai dari Kristus Yesus dan diteruskan oleh 11 + 1 pembawa berita yang memberitakan keseluruh dunia, menjadi saksi bahwa Yesus adalah Raja. Dibagian tengah Kisah Para Rasul (ps 12) kita melihat ada raja lain yang menjadi kontestan, yaitu Herodes yang membunuh murid Yesus sang Raja asli. Namun ternyata rajanya memang bukan Harodes, menjadi kontestan raja yang asli membawanya pada ajal yang menyedihkan, mati ditampar malaikat, dan menjadi makanan cacing. Orang yang meninggikan diri sedemikian rupa, bahkan tidak menaruh hormat kepada Allah harus direndahkan serendahnya hingga menjadi konsumsi para cacing. Kita juga melihat bagaimana dihadapan kaisar, Paulus memberitakan Injil; dalam pemberitaan tersebut Agripa, sang kaisar bahkan menyatakan bahwa hampir-hampir dia menjadi orang Kristen, dan dengan lebih lantang lagi Paulus menyatakan bahwa dia berdoa agar seluruh orang yang hadir menjadi pengikut Kristus (26:29). Inilah artinya pulihnya kerajaan ini. Saya suka untuk menyatakan kerajaan Allah bukan dengan slogan alrady and not yet; tapi already and is going on; sudah dan sedang datang dalam kepenuhannya. Menunjukkan bahwa kerajaan Allah itu sedang menuju kepada puncaknya Kingdom of God is marching on!!!

Teks ini sangat menggairahkan orang-orang Kristen. Josephus, Seorang sejarawan Yahudi bahkan menyatakan bahwa teks yang menyatakan bahwa Anak manusia teangkat sorga ini menjadi satu motivasi besar bagi orang-orang Yahudi untuk mengadakan pemberontakan dami pemberontakan. Kita mengingat kembali dalam teks Daniel 7 mereka melihat Anak Manusia naik menuju kepada Dia Yang lanjut Usia dan kepadanya diberikan kerajaan yang kokoh dan tidak akan musnah (13-14), dan dalam teks Kisah Para Rasul kita melihat Anak Manusia (Yesus Kristus) naik ke sorga. Suatu paralel yang jelas menyatakan proklamasi tentang kerajaan yang kokoh. Sekali lagi kita melihat reaksi yang salah, mereka memberontak berdasarkan pandangan kerajaan yang bersifat militeristik dan politis; namun mereka benar dalam menganggap teks ini sebagai berita penting, berita yang harus dengan segera direspon. Saat ini kita sudah dibanjiri dengan sangat beragam teks; apa teks yang membuat kita harus segera bertindak??? Mungkin teks tentang politik, mungkin teks tentang bursa saham, dan tentu saja tidak boleh ketinggalan; teks di surat kabar tentang midyear sale. Teks yang ditulis dengan huruf besar diskon 80% menjadi teks yang paling aktual bagi ibu-ibu masa kini, degnan sedikit mengabaikan tanda bintang yang mengarah pada tulisan “syarat dan ketentuan berlaku”. Namun bagi pengikut Kristus mestinya berita mengenai kerajaan Allah yang datang ini menjadi teks utama yang menuntut immediate response (respon yang terjadi dengan segera). Bagian akhir Kisah Para Rasul membuat saya sangat terharu, Paulus terus memberitakan tentang kerajaan Allah hingga ke Roma (keujung bumi yang dikenal pada waktu itu). Sekarang kita sudah melihat ujung-ujung bumi yang lain; sekolah kita, kantor kita, pelosok Indonesia, bahkan benua dan bagian bumi yang begitu luas; kesanalah Injil kerajaan ini harus terus disiarkan oleh kita yang telah menerima kuasa dari Allah Roh Kudus ini, mari kita beritakan bahwa yang menjadi raja adalah Kristus, setan dikalahkan dan kehendak Allah terjadi.

Selanjutnya kita melihat teks yang ditulis oleh Yohanes murid Tuhan Yesus; berkenaan dengan kerajaan 1000 tahun (Why 20). Pandangan amilenialisme sangat konsisten dengan melihat sastra yang dipenuhi simbol ini dengan pembacaan simbolis idealistis. Kerajaan 1000 tahun adalah masa kita hidup sekarang ini, yaitu antara kedatangan Kristus Yesus yang pertama dan kedua, bukan nanti suatu hari (memandang angka 1000 sebagai sebuah angka yang genap bukan angka dalam pengertian literal). Kini kita sedang hidup di masa dimana iblis diikat, Kristus raja berkuasa, Kristus memerintah bersama dengn para martir, para saksi Tuhan yang mati karena imannya. Dia memerintah dan iblis dikalahkan.jika ini adalah realitanya, maka mari kita menantang diri kita untuk berrespon terhadap doktrin sederhana ini. Kerajaan 1000 tahun dimana iblis diikat kalah, dan Kristus memerintah dimulai sejak Kristus datang yang pertama kali. Ini adalah realisasi dari doa yang Tuhan Yesus sendiri ajarkan datanglah kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu, dibumi seperti di sorga. Bila pada zaman Elia, kita melihat seorang nabi berteriak lantang Ya TUHAN Allah Abraham, Allah Ishak, dan Israel, pada hari ini biarlah diketahui orang bahwa Engkaulah Allah... bila dihadapan kaisar Agripa Paulus berteriak lantang mengenai Injil Kristus Yesus, maka kini biarlah dihadapan para penguasa dunia, dihadapan para bos kita, dihadapan kuasa Youtube dan Facebook, dihadapan tirani Blackberry dan perangkat teknologi serta gaya hidup, dihadapan mitos progresi dan angan-angan globalisasi, dihadapan pasar saham, pergerakan harga logam mulia serta perubahan angka buku deposito kita,biarlah dihadapan mereka semua dinyatakan bahwa Kristus lah Raja, Dialah Penguasa yang menentukan menang-kalah, makmur-tertindas bahkan hidup-mati kita. Mari kita benar-benar mengamini doa yang diajarkan oleh Tuhan Yesus, datanglah kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu, dibumi seperti disorga; di Indonesia seperti disorga, di GRII Bintaro seperti disorga, dirumah saya seperti disorga, bahkan dalam diri saya seperti dalam Diri Tuhan Yesus Kristus (karena dalam Dialah kehendak Allah secara penuh telah jadi). Doa ini menuntut respon yang berat, namun memang doa ini menuntut hingga kepada detail yang paling personal. Maukah kita, rindukah kita, banggakah kita??? Atau ternyata Kristus memang bukan Raja kita??? Biarlah belas kasihan TUHAN menuntun kita menjadi penggenapan datangnya kerajaan Allah yang memang telah dan sedang datang ini.


GOD be praised!!!

Friday, May 21, 2010

Berkat Abraham

Galatia 3:10-14

Bangsa Yahudi memiliki tradisi yang terbentang begitu panjang, lebih dari 2000 tahun tradisi tersebut membentuk identitas kebangsaan yang begitu kental. Hal tersebut tidak mudah untuk digeser. Ketika kekristenan masuk, bangsa ini harus belajar untuk memodifikasi berbagai pandangan yang menghasilkan identitas yang berbeda. Paulus berusaha untuk menjelaskan identitas ini bagi orang-orang Kristen Galatia yang sedang diinvasi oleh kepercayaan dan perilaku Yahudi. Bagi kita tidak begitu mudah untuk menghayati betapa sulitnya identitas ini digeser dan dimodifikasi. Saya usulkan salah satu sebab pentingnya adalah bahwa kita sudah sangat dipengaruhi oleh pragmatisme yang tumbuh sangat subur dalam zaman yang banyak dipengaruhi Postmodernisme ini. Kalau kita ditanya bagaimana seharusnya hidup sebagai orang Indonesia, bagaimana budaya Indonesia, apa sajakah nilai-nilai luhur yang kita dapati di dalam bangsa Indonesia ini kita akan sedikit kebingungan. Kemana kita akan mencari ciri khas Indonesia, kita menunjuk kepada Bali, ternyata Bali sudah dibanjiri dengan diskotek, Mc.D, gedung-gedung bioskop yang menjadikannya hampir mirip dengan Jakarta kecuali pantainya. Kita mengabaikan sarana-sarana sederhana yang bisa dengan begitu kuat membentuk karakter identitas sebuah bangsa. Bangsa Yahudi tidak demikian. Mereka terbentuk di dalam tradisi Taurat, didalam ritual-ritual keagamaan, mereka dibentuk melalui berbagai perayaan, kisah-kisah, syair, serta nyanyian-nyanyian. Mereka bisa menceritakan kepada anak-anak mereka bagaimana nenek moyang mereka merasakan begitu mencengangkannya ratapan seluruh negeri ketika dalam satu malam TUHAN menghabisi anak-anak sulung di Mesir, bagaimana nenek moyang mereka berjalan melalui lautan yang terbelah, bagaimana Daud memancung Goliat yang tinggi besar, mereka menghayati hidup mereka dalam ziarah-ziarah ke Yerusalem. Kita sekarang hidup dalam budaya konsumerisme yang tinggi, kita hidup dalam budaya food court, kalau mau makan tinggal pilih, tidak ada satu hal yang mengikat kita. Ini menjadikan identitas kita tidak terbangun dengan kuat. Ibadah ke mana kita bisa pilih, datang pagi atau sore hari kita bisa pilih, tidak ada suatu ikatan yang membuat kita terbentuk kuat dalam identitas tertentu. Bangsa Yahudi terbentuk dengan sangat kuat menjadi sebuah bangsa yang sangat khas. Beberapa ciri mereka antara lain, pertama, mereka memiliki corak hidup Taurat dan mereka bangga akan hal tersebut. Hidup berdasarkan Taurat ini dipupuk melalui perjalanan yang sangat panjang, dari peristiwa berdarah ketika patung lembu emas, kisah raja-raja, hingga pembuangan di Babel membuat mereka begitu kental dalam menyuarakan (sounding) Taurat tersebut dalam hidup sehari-hari mereka, dalam kasus Galatia ini Paulus dengan begitu khas bersuara mengenai orang benar tidak hidup karena melalui hukum Taurat. Kedua, perjalanan panjang bangsa mereka membentuk paham kesukuan yang begitu kuat. Bangsa Israel telah mengalami akibat pahit dari kawin campur yang membuat agama mereka tercampur juga sehingga mereka dihukum TUHAN dalam tekanan-tekanan yang begitu berat. Dalam permasalahan jemaat Galatia, jemaat menghadapi militansi semangat Yahudi seperti ini, disunat merupakan salah satu tanda dimana seseorang diterima masuk dalam komunitas Yahudi ini. Ketiga, mereka memiliki pengharapan panjang akan hadirnya anak Daud, raja yang akan datang mengangkat Israel menjadi suatu kerajaan yang kuat. Keempat, dalam religi mereka dikenal konsep kambing hitam (scapegoat), D.R Schwarts menyatakan bahwa Paulus memiliki konsep mekanisme penebusan dengan kambing hitam ini.

Tradisi-tradisi yang sudah membentuk identitas yang mendarah daging tersebut kini diperhadapkan kepada kegenapannya dalam Kristus Yesus. Inilah yang sedang diusung oleh Paulus. Umat Kristen harus belajar bahwa hidup mereka kini bukan sekedar menantikan kedatangan Raja namun hidup di dalam kedatangan sang Raja. Mereka juga harus belajar bahwa kemenangan yang diusung sang Raja itu harus mereka hidupi kini, namun kemenangan tersebut bukanlah kemenangan militeristik, melainkan kemenangan atas hidup dibawah kutuk hukum Taurat, kemenangan atas maut, kemenangan atas dosa. Mereka juga harus belajar bahwa kemenangan tersebut bukan eksklusif kemenangan Yahudi namun meliputi orang-orang non Yahudi, sehingga mereka harus merevisi identitas kesukuan yang begitu kaku dalam diri mereka digantikan dengan identitas Kristen yang membanggakan dan bersifat mengundang (orang non Yahudi untuk masuk). Mereka juga harus belajar bahwa kedatangan sang Raja yang memenangkan mereka, menggenapkan janji-janji Allah di Perjanjian Lama bukanlah dengan keketatan sistem Taurat melainkan karena iman. Memberikan pandangan baru terhadap tradisi yang sudah begitu menahun seperti ini tidaklah mudah. Sekali lagi yang dihadapi oleh Paulus adalah orang-orang Kristen yang sebagian besar bukan Yahudi, namun mulai terdistorsi oleh pandangan-pandangan Yahudi seperti ini, sehingga mereka terancam disesatkan dengan masuk ke dalam sistem Taurat yang dikatakan Paulus dasar hukum Taurat ... orang yang melakukannya, akan hidup karenanya. (ay. 12).

Berbagai rangkaian argumen dipakai oleh Paulus disini untuk mendukung tesisnya. Pertama, dia memakai pembuktian melalui contoh pengalaman jemaat Galatia. Paulus menyatakan bukankah Yesus Kristus yang disalibkan itu telah dilukiskan dengan terang di depanmu??? Paulus mengajukan pertanyaan retoris (yang bukan diajukan untuk dijawab namun untuk mengingatkan mereka bahwa mereka bukan menerimanya karena melakukan hukum Taurat) adakah kamu menerima Roh karena melakukan hukum Taurat atau karena percaya pemberitaan Injil..., apakah Ia ... berbuat demikian karena kamu melakukan hukum Taurat atau karena kamu percaya pada pemberitaan Injil... Paulus juga menyatakan kamu telah memulai dengan Roh... Semua itu adalah pengalaman yang sudah terjadi bagi jemaat Galatia. Kita mungkin sering alergi terhadap pengalaman, kita berkata dengan sok bijak pengalaman bukan patokan dan pengalaman tidak bisa menjadi doktrin, namun hal tersebut sebenarnya hanyalah menutupi diri dari kekurangan kita akan pengalaman. Kita mengkritik pengalaman orang lain namun kita sendiri tidak pernah merasa mengalami hidup berjalan bersama Tuhan. Ketika dalam sebuah ibadah ada orang bertanya ada sukacita??? Otomatis dengan datar kita menjawab dengan kata amin, namun seringkali kita tidak mengalami sukacita tersebut. Mungkin kita malah berfilsafat dengan menyatakan: hmmm sukacita bukanlah sekedar suatu perasaan subjektif, sukacita ada di dalam definisi Tuhan Allah, saya mungkin berasa datar namun sesungguhnya saya bersukacita. Sungguh ini sebuah kepalsuan yang coba kita balut dengan sangat munafik. Benar bahwa pengalaman tidak bisa dijadikan satu-satunya dasar bagi sebuah doktrin, namun pengalaman bukanlah tidak ada apa-apanya (nothing).

Kedua, Paulus mengemukakan argumen yang didasarkan pada Alkitab. Diawali dengan pernyataan mengenai Abraham yang dibenarkan karena iman. Kita melihat Paulus mengutip teks Perjanjian Lama dengan muatan yang diperluas dia mengangkat teks, terkutuklah orang yang tidak setia melakukan segala sesuatu yang tertulis dalam kitab hukum Taurat. Bila jemaat mau kembali (atau mulai masuk) dalam skema Taurat maka mereka harus mempertimbangkan bahwa orang yang tidak setia terhadap seluruh hukum sudah berada di bawah kutuk. Selanjutnya Paulus menyatakan (lagi-lagi) fakta dan pengalaman bahwa tidak ada seorang pun yang dibenarkan karena melakukan hukum Taurat, lalu Paulus menyambungnya dengan menyatakan bahwa orang benar akan hidup oleh iman. Mereka dengan sangat lugas diperhadapkan dengan kenyataan bahwa ternyata hukum Taurat tidak dapat memimpin mereka kepada pembenaran, tidak dapat memimpin mereka kepada hidup, namun sebaliknya memasukkan mereka dalam kutuk. Dasar hukum Taurat bukanlah iman melainkan kelakuan. Peraturan tersebut semestinya telah mereka tinggalkan. Kristus telah menebus mereka dari kutuk dengan jalan menjadi kutuk itu sendiri bagi mereka. Disini kita melihat dua hal, pertama ketidak mampuan Taurat memimpin kepada hidup dan kedua Kristus Yesus sendiri yang menjadi kambing hitam (scapegoat) bagi mereka sehingga mereka tidak lagi harus hidup di bawah kutuk. Kambing hitam sering kali digunakan bagi orang untuk membenarkan dirinya, atau setidaknya mengaburkan kesalahan atau malapetaka yang akan kita terima. Dalam konteks hidup zaman kitapun sebenarnya dalam berbagai bentuknya konsep mengenai kambing hitam masih sangat sering kita gunakan. Ketika kita membuat kesalahan kita cenderung untuk mencari alibi dengan mengkambing hitamkan orang atau sesuatu yang lain. Kita bisa berkata saya terlambat karena teman saya mengajak ngobrol dari tadi, saya tidak datang karena nenek saya minta dijemput, saya tidak maksimal menjadi ketua panitia karena anggota-anggota kurang bekerja keras (kita bisa menambahkan daftarnya dalam konteks kita masing-masing). Seringkali kita lupa bahwa urusan dipandang benar semestinya sudah bukan permasalahan bagi kita. Kita sudah memiliki Kristus Yesus yang merelakan Diri-Nya untuk menjadi kambing hitam untuk kutukan atas dosa-dosa kita. Hubungan manusia dengan Allah dan dengan sesama seringkali secara tidak kita sadari terkotak-kotakkan karena ada dua perasaan yang sangat besar yaitu malu dan takut. Malu dan takut tersebut lahir dari ketidak sempurnaan, kesalahan. Seorang anak kecil merasa takut terlihat ayahnya bila dia berbuat kesalahan, seorang yang minder dan malu dengan orang seringkali disebabkan oleh sesuatu dalam dirinya yang dia rasa kurang sempurna, bisa karena kurang pandai, kurang cantik, kurang kaya dsb. Kita bisa menutup malu dan takut tersebut dengan berbagai hal, antara lain bergiat untuk menjadikan diri lebih sempurna, lebih cantik, lebih kaya, atau cara lain yang lebih mudah adalah mencari kambing hitam. Kita harus mengingat kambing hitam terhadap dosa-dosa kita, bahkan dosa yang paling mengerikanpun adalah Kristus dan Dia cukup. Berusaha untuk menambahkan apapun kepada aturan tersebut berarti mengarahkan diri kembali kepada sistem lama (sistem Taurat ala orang-orang Yahudi). Biarlah kita menghidupi kebebasan yang melegakan ini, terpujilah Kristus Penebus kita!!!

Ay 14 membeberkan tujuan dari tindakan Kristus menebus kita dari kutuk, yaitu agar berkat Abraham sampai kepada bangsa-bangsa lain. Berkat Abraham memang tidak pernah ditujukan untuk menjadi eksklusif dalam pengertian ras tertentu. Berkat Abraham ditujukan kepada arah Internasional dalam artian bukan sekedar satu ras tertentu, namun juga bersifat nasional artinya warga kerajaan Allah, ini bersifat kudus yaitu terpisah dari dunia yang cemar. Manusia telah kehilangan kemuliaan Allah ketika jatuh dalam dosa (Rm 3:23), manusia semestinya menyandang kemuliaan Allah tersebut karena memang manusia diciptakan seturut gambar rupa Allah. Berkat Abraham tersebut mengembalikan manusia pada tujuan asli penciptaan, yaitu membawa segala kemuliaan kepada Allah. Manusia dipulihkan kembali menjadi manusia yaitu pembawa gambar mulia Allah. Inilah berkat besar, pemulihan yang dijanjikan Allah melalui keturunan perempuan, keturunan Abraham, keturunan Israel, keturunan Daud tersebut. Melalui Kristus yang telah melepaskan kita dari kutukan hukum Taurat lah kita memperoleh pembenaran kita, kita menikmati pemulihan di dalam Kristus. Inilah berita bahagia, berita Injil tersebut. Namun sayangnya berita ini sudah sangat dikorupsi, baik oleh dunia maupun oleh gereja-gereja yang salah. Ada gereja yang mengajarkan bahwa berkat Abraham adalah kekayaan (sebab Abraham kaya). Akhirnya berkat Abraham yang sejati tidak pernah dirindukan manusia. Bahkan orang Kristen seringkali memiliki gambaran mengenai berkat persis seperti orang yang tidak mengenal Tuhan. Kita mendambakan, kekayaan, kebahagiaan, dsb. Kita jarang benar-benar merindukan menjadi manusia yang asli, membawa gambar rupa Allah, membawa kemuliaan-Nya kemana-mana, membuat kemuliaan Allah terpancar ke seluruh bumi. Bahkan slogan terkenal yang bernada canda pun terkenal diantara orang Kristen muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk sorga. Hal tersebut bukanlah tujuan kita ditebus, tujuan kita menjadi milik Kristus yang terutama bukanlah supaya kita masuk sorga yang imaterial (tak bermateri) dan atemporal (tak berwaktu) yang mana di dalamnya berisi segala macam kesenangan yang didambakan oleh nafsu berdosa kita. Ada sebuah buku yang menggambarkan tentang sorga mirip sebuah perumahan yang indah, rumahnya begitu besar, ada ring basket, ada kolam renang, ada banyak permainan game dsb. Ini adalah pendidikan dunia yang disusupkan masuk ke dalam ide Injil Tuhan, hal ini sangat merusak!!! Berkat Abraham yang kita nikmati terutama adalah kita dibebaskan dari dosa, memiliki kebebasan dalam menyembah Allah, bersukacita di dalam kemuliaan-Nya.

Ide mengenai berkat seperti ini mungkin sedikit mengecewakan bagi kita. Kita berharap bahwa di dalam Kristus kita memperoleh kemenangan dalam versi yang kita inginkan, namun penebusan Tuhan terutama adalah mengembalikan manusia pada martabatnya yang paling puncak, yaitu pembawa gambar Allah sehingga setiap kita senantiasa memancarkan kemuliaan-Nya. Sekali lagi hal ini tidak mudah. Kita dan anak-anak kita dibentuk melalui sinetron-sinetron yang menawarkan hidup mewah, kita dipenuhi dengan harapan orang tua untuk menjadi “orang” (artinya manusia kaya raya), orang tua banyak berkata belajarlah baik-baik agar besok kaya tidak menderita seperti kakek ini. Anak sudah dibentuk untuk mengejar kesuksesan dan kekayaan, dan pembentukan identitas sebagai pengejar kekayaan ini tidak berubah bahkan hingga masuk ke dalam gereja, bahkan lebih jauh lagi hingga mempengaruhi pengajaran gereja bahwa berkat Abraham sebenarnya adalah kekayaan. Membentuk suatu identitas memerlukan perjuangan yang keras, kita perlu terus bersandar kepada Tuhan di dalam tekun berdoa. Identitas tersebut dibentuk melalui cerita-cerita yang kita konsumsi, yang kita dengar dan terus ceritakan, dibentuk melalui kebiasaan-kebiasaan kita di dalam aktivitas sehari-hari, di dalam percakapan kita, di dalam lagu-lagu yang kita nyanyikan didalam buku-buku yang kita baca dsb. Ketika banyak orang merasa begitu bangga bila bisa memperolah identitas sebagai warga negara Romawi, Paulus justru menyatakan bahwa segala sesuatu sampah dibandingkan dengan pengenalan akan Kristus. Kita telah mendengar bahwa hidup menurut tata aturan legal Taurat tidak memimpin kita kepada hidup melainkan kutuk, namun kutuk tesebut telah diambil alih oleh Kristus. Di dalam Kristus kita memperoleh apa yang disebut sebagai berkat Abraham tersebut, adakah kita bersukacita untuk hal ini??? Anak kecil ingin menjadi robot yang kuat, remaja ingin menjadi artis yang super keren, pemuda ingin mendapatkan popularitas, orang dewasa mendambakan menjadi jutawan. Pernahkah kita berpikir, apa yang kita inginkan sebagai Kristen??? Mendambakan kemuliaan Allah dinyatakan melalui kita??? Maukah kita menghidupi hidup bermartabat sebagai manusia penyandang gambar Allah, di dalam Kristus Yesus ini???

GOD be praised!!!


Wednesday, February 3, 2010

Kecukupan Kristus - respon kita???

Galatia 3:6-10

Kita akan melihat kembali rangkaian argumentasi Paulus yang digunakannya untuk meneguhkan Injil yang diberitakannya. Seperti yang telah kita ketahui, kemurnian Injil sedang menghadapi suatu tantangan. Kecukupan Kristus yang diungkapkan oleh Paulus diperhadapkan dengan tantangan yang datang dari orang-orang Yahudi. Secara khusus, jemaat Kristen Galatia dikeruhkan dengan permasalahan yang sangat pelik; Injil Kristen kini didorong untuk “dilengkapi” dengan satu hal lain yang memang begitu lekat dalam tradisi Kristen sejak zaman Perjanjian Lama (selanjutnya ditulis PL), yaitu Taurat dan dalam kasus ini adalah sunat. Orang Yahudi memang telah mendapatkan penekanan selama berabad-abad bahwa janji Allah adalah kepada Abraham dan bukan kepada Haran atau Nahor (saudara-saudara Abram), kepada Ishak dan bukan Ismael, kepada Yakub dan bukan kepada Esau. Namun dalam PL juga mereka telah mengetahui bahwa sebenarnya orang asing bisa masuk dalam bagian perjanjian Allah dengan Abraham dan keturunannya tersebut, yaitu melalui sunat. Yang menjadi masalah adalah mengapa kini sunat tersebut dipermasalahkan setelah Kristus Yesus datang, mengapa kondisi tersebut harus diganti sehingga orang-orang non Yahudi tidak perlu lagi mengikuti syariat Yahudi. Sekali lagi, bagi Paulus yang menjadi permasalahan bukanlah sunat atau tidak sunat dalam pengertian sunat fisik (dikeratnya kulit khatan laki-laki), yang jadi permasalahan bagi dia adalah bahwa karya Kristus Yesus dinyatakan tidak cukup. Paulus menegur dengan emosional mereka yang telah menerima gambaran akan Kristus yang telah disalibkan tersebut namun masih bisa terperdaya oleh ajaran yang asing (3:1). Ini merupakan dosa dan kesalahan yang sangat fatal. Bila Kristus yang disalibkan itu sudah digambarkan dengan jelas, namun mereka masih bisa terperdaya oleh ajaran lain, maka mereka telah berdosa dengan sangat parah. Ini adalah suatu prinsip yang sangat sederhana, semakin besar kita telah menerima anugerah Tuhan, semakin jelas kita telah mengenal Kristus, semakin besar juga tanggung jawab kita untuk berrespon terhadap pengenalan tersebut. Anugerah harus diiringi dengan respons. Bila kita memiliki anak yang cacat mental, kita tidak menuntut dia untuk bisa belajar dan mendapatkan nilai seperti anak-anak normal, namun bila ada anak yang dikaruniai otak yang sangat pandai, namun dia malas dan sering tidak naik kelas, anak tersebut harus dihukum dengan keras sebab dia sudah menyepikan anugerah yang diterimanya. Bagaimana dengan kita??? Kita memiliki kemampuan untuk membaca, kita memiliki Alkitab dalam bahasa kita sendiri, tersedia untuk dibaca setiap saat, kita memiliki banyak akses untuk mengenal Tuhan melalui Firman-Nya; adakah kita sudah berespon dengan benar atas karunia yang diberikan-Nya kepada kita??? Kiranya kita yang diperkenankan Tuhan untuk terus bergumul dengan Firman, terus mendapatkan berbagai pembinaan yang baik dan dimampukan untuk berespon secara tepat dihadapan Allah.

Ben Witherington III menyatakan bahwa tidak biasanya Paulus menarik kepada PL ketika berbicara mengenai Kristus kepada orang-orang Kristen non Yahudi, namun disini dia menggunakan argumen tersebut (yaitu mengenai Abraham) karena dia mengasumsikan bahwa jemaat meski kebanyakan bukan Yahudi, cukup mengenal setidaknya hal-hal mendasar mengenai Abraham dan beberapa hal yang berkaitan dengan agama Yahudi melalui pembelajaran di sinagoge. Disini Paulus menggunakan contoh Abraham dengan begitu jitu. Pada waktu itu salah satu bentuk pembuktian yang sangat kuat dari sebuah analogi adalah dengan memberikan suatu percontohan khususnya contoh dari sejarah. Orang-orang Yahudi sangat mengagungkan Abraham (jemaat Galatia sangat mungkin mengetahui hal ini dari pengajaran-pengajaran dalam sinagoge). Paulus mengutip Kejadian 15:6 dan menyejajarkan jemaat Galatia dengan Abraham dalam satu hal, yaitu iman. Kejadian 15 ini merupakan afirmasi dari panggilan TUHAN kepada Abraham dalam Kejadian 12, dimana Allah berjanji untuk memberikan keturunan, memberikan tanah dan memberikan berkat bagi Abraham. Ini merupakan berbagai elemen yang sangat penting dalam budaya Yahudi. Karena Abraham percaya maka Abraham dibenarkan, dan jemaat Galatia menerima Roh karena mereka percaya kepada pemberitaan Injil. Menerima Roh dan dibenarkan adalah dua hal yang sangat berkait, namun FF Bruce menyatakan satu hal yang sangat indah, yaitu pada Abraham tidak dikatakan bahwa dia meneima Roh karena iman melainkan bahwa dia dibenarkan karena iman, sebab Abraham berada pada masa janji Allah, sementara jemaat Galatia yang hidup pada masa penggenapan dikatakan bahwa mereka telah menerima Roh. Kita telah melihat bahwa menerima Roh berkait dengan status orang yang dibenarkan oleh Tuhan. Betapa diberkatinya kita; Abraham menerima janji tersebut dan kita telah hidup pada masa penggenapannya. Bahkan jemaat Galatia (dan tentunya kita juga) merupakan objek penggenapan tersebut (oleh Abraham semua kaum mendapatkan berkat - Kej 12:3), lebih lagi merekalah (dan juga kita) yang menjadi realisasi penggenapan janji Allah keada Abraham, mereka yang hidup dari iman, merekalah anak-anak Abraham. Abraham harus menantikan hingga usia yang sangat tua sebelum dia menyaksikan secercah penggenapan janji Allah mengenai “banyak bangsa”, yaitu saat dia mendapatkan Ishak, namun kini kita mengetahui bahwa “bangsa yang besar” tersebut adalah kita, anak-anak Abraham berdasarkan iman. Ini kita hidupi di dalam iman kepada Kristus Yesus. Sekali lagi kita melihat, anugerah Tuhan telah begitu nyata, kita telah melihat Kristus Yesus yang disalibkan, di dalam-Nya kita menjadi penggenapan janji Allah kepada Abraham sebagai bangsa yang besar, dan juga terberkati. Harusnya hal ini menggelorakan batin kita untuk mengabdi sepenuhnya kepada Kristus Yesus Tuhan kita.

Kita kembali kepada rangkaian argumenasi Paulus; dalam membangun argumentasi, pada waktu itu umumnya diakui bahwa pernyataan-pernyataan yang lebih awal merupakan pernyataan yang lebih otoritatif dari pada yang terkemudian. Disini kita melihat bagaimana Paulus menyatakan bahwa Allah membenarkan Abraham sebelum dia disunat, bahkan sebelum dia mempersembahkan Ishak, lebih-lebih lagi jauh sebelum adanya hukum Taurat pada zaman Musa. Pembuktian ini sangat penting karena seperti kita ketahui Taurat memiliki peran yang sangat penting bagi orang-orang Yahudi. Kita melihat dalam 2:15 dikatakan bahwa menurut kelahiran kami adalah orang Yahudi dan bukan orang berdosa dari bangsa-bangsa lain. Orang Yahudi percaya bahwa mereka dipilih oleh Tuhan karena karunia Tuhan dan mereka diberikan Taurat yang harus mereka turuti; dalam Taurat tersebut mereka mendapatkan pengampunan dosa yang secara khusus digambarkan melalui berbagai macam upacara pengurbanan. Jadi bangsa-bangsa lain tidak memiliki sarana untuk mendapatkan pengampunan dosa sebab mereka tidak memiliki Taurat. Sekarang Paulus menyatakan bahwa ternyata Abraham dibenarkan karena iman, sebelum sunat, sebelum ketaatannya dalam mempersembahkan Ishak, dan tentunya sebelum adanya hukum Taurat Musa. Pada waktu itu ada literatur Yahudi yang menyatakan bahwa ada dua hal penting berkaitan dengan Abraham, pertama dia dibenarkan karena dia setia di dalam ujian, kedua, iman diiringi dengan penerimaan Abraham akan sunat. Kesetiaan Abraham dianggap layak mendapatkan jasa (meritorious) untuk dia dan keturunan-keturunannya. Disini kita melihat bahwa ternyata tidak mudah bagi manusia untuk menerima bahwa dirinya tidak berbagian di dalam keselamatan yang diberikan Tuhan kepadanya. Manusia lebih mudah untuk melihat jasa dirinya. Seringkali tidak mudah untuk menerima bahwa diri kita diterima Tuhan apa adanya, lebih mudah bagi kita untuk mendapati diri kita diterima Tuhan setelah kita melakukan ini dan itu. Ada seorang yang sakit keras diinjili di sebuah rumah sakit, lalu satu pertanyaan muncul dalam dirinya, benarkah dosa saya bisa diampuni hanya karena saya percaya pada Tuhan Yesus??? Sekali lagi hal ini menunjukkan betapa sulitnya menghidupi kisah anugerah ini, dan pada gilirannya kita pun susah untuk beranugerah pada orang lain. Kita lebih mudah untuk menerapkan standar-standar bagi orang lain. Kita melakukan sortir kepada siapa kita mau berteman, kepada siapa kita mau bergaul, bukan karena kita takut terpengaruh kebiasaan buruk, namun karena kita takut dirugikan. Kita tidak menghidupi doktrin Kristen yang sangat dasar ini, yaitu pembenaran oleh anugerah melalui iman.

Pola hidup seperti ini dikritik habis oleh orang-orang Postmodern. Levinas dan Derrida menyatakan bahwa penerimaan harus dilakukan dengan tanpa syarat. Mereka menyatakan bahwa yang disebut keramah tamahan (hospitality) adalah kesiapan untuk memberikan apapun yang kita miliki kepada siapapun orang asing yang mengetuk pintu rumah kita. Penerimaan harus diberikan secara radikal kepada siapapun juga dengan tanpa syarat apapun. Disini konsep penebusan klasik Kristen ala Anselmus sangat dikritik, Anselm menyatakan bahwa Kristus Yesus disalibkan diatas kayu salib karena Dia melunaskan hutang dosa bagi manusia yang berdosa. Orang-orang ini bahkan dengan berani menyatakan bahwa konsep penebusan seperti ini yang membuat dunia rusak. Allah yang hendak menerima manusia harus dipuaskan dahulu dengan satu syarat, yaitu pembalasan yang kejam, bahkan doktrin penebusan melalui kurban Anak Tunggal Allah dituduh sebagai penyiksaan/kekerasan terhadap anak secara ilahi (divine child abuse); keliaran pikiran orang-orang ini terus menggila dengan mengkreditkan kekerasan (violence) yang terjadi dalam dunia ini salah satunya adalah akibat konsep penebusan Kristen ini. Mereka menawarkan solusi yang dipandang lebih baik, yaitu penerimaan tanpa syarat, penerimaan apa adanya. Bagaimana kita menjawabnya??? Haruskah kekristenan kita direvisi oleh orang-orang Postmodern??? Apakah Allah kita adalah Allah yang ketika ingin mengampuni harus dipuaskan dahulu dengan darah Anak-Nya??? Tidak!!! Jauh-jauh hari kita telah mendapatkan nasehat dari Paulus yang menyatakan bahwa kita diterima Allah apa adanya, diri kita melalui iman, bukan melalui usaha diri kita, bukan melalui fit and proper test. Bahkan konsep anugerah telah tersebar sejak dalam PL. Bila orang-orang Postmodern berani dengan jujur melihat pada doktrin Allah Tritunggal, dimana dia mengerti betapa besarnya kasih Allah Anak kepada Allah Bapa, dan kasih Allah Bapa kepada Allah Anak; maka semestinya lutut mereka akan bergetar dan bibir mereka akan menganga melihat betapa Allah telah mengurbankan Putera Tunggal yang dikasihi-Nya untuk kita orang berdosa ini. Disini Yohanes 3:16 berbunyi secara lantang; Allah Bapa memberikan Putera Tunggal-Nya bukan karena kita baik, juga bukan karena Dia bisa dipuaskan melalui darah Anak-Nya, namun karena Dia mengasihi orang berdosa. Tidak heran Paulus sangat terpana atas Kristus yang disalibkan itu. Masih adakah ruang dalam batin kita yang membiarkan air mata kita meleleh ketika merenungkan betapa Allah mengasihi kita, meski kita sudah berdosa; bahkan lebih jauh lagi kasih itu dipaparkan melalui Kristus yang disalibkan itu??? Melalui iman saja kita diselamatkan, ya melalui iman saja, Kristus yang disalibkan adalah cukup dan tuntas!!! Terpujilah Kristus!!!

Hans Boersma menyatakan pola penerimaan apa adanya tanpa syarat apapun ala Postmodern memiliki lobang yang sangat besar. Penerimaan apa adanya tanpa syarat hanya akan menghasilkan kerusakan yang semakin besar. Sebuah contoh sederhana, bila kita memberi ruang bagi pembunuh, pemerkosa, penipu apa adanya tanpa syarat, maka akan terjadi kerusakan yang tak terkira. Namun kekristenan tidak seperti itu, Allah memang telah menerima kita yang begitu berdosa apa adanya, namun selanjutnya Allah menyucikan kita sehingga membuat kita mengalami progresi semakin hari semakin baik. Nanti dalam pasal 5 Paulus menyatakan buah-buah Roh. Kita diselamatkan hanya oleh anugerah Allah, hanya melalui iman, bukan karena kita baik, namun selanjutnya, kita oleh Roh menghasilkan buah keselamatan tersebut. Penerimaan Allah adalah penerimaan yang mentransformasi. Selanjutnya, Ronald Y.K. Fung mengeluarkan pernyataan yang sangat indah, yaitu bahwa Paulus menyatakan Abraham dibenarkan karena iman (bukan karena berbuat baik) untuk memberikan segala kemuliaan hanya kepada Allah semata, dan mengajarkan untuk kita mempercayakan diri hanya pada kesetiaan, dan kuasa-Nya. Kiranya ketika kita mengerti bahwa kita diterima, dibenarkan hanya karena iman yang adalah anugerah Allah; maka kita menghidupi pola anugerah ini (rule of grace). Kita juga semestinya melihat semua saudara kita, pasangan hidup kita, anak-anak kita dalam pola anugerah, kita mengasihi mereka bukan karena mereka baik, pintar, seksi, jujur dsb. Namun seperti Tuhan telah mengasihi kita berdasarkan pola anugerah, kita juga menghidupi anugerah tersebut. Mari sekali lagi kita menundukkan kepala kita dengan jujur, melihat penggenapan janji Allah yang telah dipenuhi dalam gereja Tuhan, yaitu kita saat ini, melalui anugerah Allah semata-mata, melalui iman. Dengan kesadaran sedemikian, jiwa kita yang bergetar bersama melantunkan pujian doksologi yang tertulis dalam surat Roma 11:33-36 “O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya! Sebab, siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan? Atau siapakah yang pernah menjadi penasihat-Nya? Atau siapakah yang pernah memberikan sesuatu kepada-Nya, sehingga Ia harus menggantikannya? Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya! Amin!!!

GOD be praised!!!