Tuesday, November 17, 2009

Pelajaran dari kisah Yosia dalam Tawarikh

2 Tawarikh 34-35

Penulis kitab Tawarikh, lewat penuturan kisah-kisahnya ingin menyaksikan bagaimana Kerajaan Allah dinyatakan. Kitab Tawarikh ini ditulis kepada bangsa yang begitu desperate, sebuah bangsa yang lebih mirip sekumpulan orang yang mengalami kekecewaan besar karena pengharapan besar yang meleset. Dengan demikian kita bisa mengerti bila kitab ini memang ditulis untuk memberikan penghiburan dan dorongan. Kondisi mereka pada waktu itu benar-benar berada pada titik yang sangat rendah. Kitab ini ditulis untuk mereka yang kembali dari pembuangan di Babel. Beberapa peristiwa penting yang perlu kita ketahui sebagai latar belakang adalah bahwa Israel (Utara) telah terlebih dahulu mengalami pembuangan dan menemui kehancurannya di tangan kekuasaan Asyur yang dahsyat, dalam kondisi ini umat Allah benar-benar diwakili oleh kerajaan Yehuda (Israel Selatan) hingga akhirnya Yehuda pun menemui kehancuran 134 tahun kemudian. Pembuangan memberikan kesan pahit yang begitu dalam bagi mereka. Kita bisa mendengar nyanyian perih masa pembuangan dari Mzm 137. dengan demikian harapan akan kepulangan dari pembuangan itu menjadi harapan besar yang terus dipelihara, harapan akan waktu yang dikatakan oleh Richard L. Pratt sebagai waktu berkat-berkat yang besar (time of grand blessings). Pratt mengutip nubuat para nabi mengenai berkat besar pada masa kepulangan tersbut (baca Yl 3:18-21; Am 9:11-15; Yeh 34:26). Namun ternyata kepulangan mereka ternyata tidak seperti yang mereka harapkan. Dari beberapa ayat yang dikutip oleh Pratt, kita melihat berbagai kemenangan yang membahagiakan, namun kenyataan yang terjadi sungguh berbanding terbalik. Kenyataan yang dihadapi mereka benar-benar jauh dari yang mereka harapkan. Ketika mereka kembali dari pembuangan berbagai kesukaran menimpa mereka, komunitas mereka sangat kecil, JA Thompson menyatakan jumlah mereka hanya sekitar 20000 orang. Ini adalah jumlah yang sangat kecil, bila kita membandingkannya dengan 1 Taw 21 ketika Daud mengadakan sensus, jumlah orang yang sanggup berperang saja dari orang-orang Israel dan Yehuda sekitar 1.570.000 orang, sekarang jumlah mereka telah jauh menyusut, tidak ada lagi bait suci kebanggan mereka, selain itu mereka tidak disambut dengan oleh orang Yahudi yang masih tinggal dan tidak ikut diangkut keluar dari tanah Yehuda, mereka mengalami musim buruk, kegagalan panen, serta sikap bermusuhan dari orang-orang sekitar mereka. Dalam kondisi demikian kita melihat tekanan yang begitu kuat dalam diri mereka; janji Allah melalui mulut para nabi seolah menemui kegagalan, disini pergumulan teologis mereka menjadi sangat real. Apakah Allah yang mereka percaya sebagai Allah semesta alam kini gagal untuk mmenuhi janji-Nya??? Kita sering kali memiliki pergumulan teologis yang lepas dari hidup sehari-hari, Allah Tritunggal, dwi natur Kristus, ketetapan Allah dsb. menjadi doktrin-doktrin yang hanya kita bicarakan dalam tataran filosofis semata, kita gagal menggumulkan doktrin-doktrin terebut dalam hidup kita sehari-hari. Orang-orang pasca pembuangan memiliki pergumulan doktrin yang sangat kuat dan hal itu langsung berbenturan dengan kehidupan mereka.

Dalam kondisi sangat tertekan inilah kitab Tawarikh diharapkan dapat memberikan pengharapan, penghiburan dan dorongan bagi mereka. Secara politis J.A Thompson menyatakan bahwa Israel telah punah, namun dalam pandangan TUHAN Israel tidak punah. Penulis Tawarikh mengingatkan mereka dengan menuliskan silsilah mereka, dari Adam, Abraham, Daud. Ketika nama-nama tersebut muncul mereka harus mengingat tangan TUHAN yang kuat. Mereka bukan sekedar sekumpulan kecil orang (20000an orang bila masuk dalam stadion Gelora Bung Karno pun akan terlihat sangat sedikit) yang tak berpengharapan, namun mereka adalah umat TUHAN. Mereka harus mempercayai tangan TUHAN yang kuat ketimbang penafsiran mereka terhadap kondisi mereka saat itu. Dengan demikian penulis kitab Tawarikh ini mendorong umat untuk terus memegang harapan dan berjuang kembali untuk menegakkan kembali kerajaan Allah yang dipercayakan di dalam dinasti Daud. Kita harus melihat realita dan identitas diri kita berdasarkan apa yang sudah diperbuat Allah, bukan pada apa yang ada pada diri kita. Bila umat Israel hanya melihat pada diri mereka, maka mereka pantas untuk kecewa dan putus harapan, namun bila mereka melihat perbuatan tangan TUHAN di sepanjang sejarah, maka mereka semestinya dikuatkan kembali. Demikian juga kita; ada orang yang minder karena miskin, karena kurang cerdas, karena berwajah kurang cantik dsb, sebaliknya ada orang yang sangat percaya diri karena kaya, pintar, berkuasa, dsb. Orang-orang sedemikian menaruh identitas diri mereka secara salah, yaitu pada apa yang ada pada diri mereka bukan pada apa yang telah diperbuat oleh Allah bagi mereka. Penulis kitab Tawarikh dengan sangat berani dan jeli melihat karya Allah yang besar. Banyak dipercayai bahwa penulis kitab ini banyak memakai kitab Samuel dan Raja-raja sebagai sumber, namun kita melihat bahwa dia memiliki agenda teologisnya tersendiri. Kepada jemaat yang sedang lesu dia menyatakan bahwa karena TUHAN lah kini mereka bisa kembali ke tanah mereka. Sejarah dunia akan mencatat bahwa kini mereka bisa pulang karena belas kasihan dari raja Koresh, namun dalam kitab ini dituliskan bahwa TUHAN yang menggerakkan hati Koresh (2 Taw 36:22), baginya kita harus melihat sejarah sebagai tangan TUHAN yang bekerja, bukan sekedar rangkaian kejadian yang terjadi secara sembarangan. Bila ada pelajaran sejarah di sekolah dan seorang guru bertanya dalam ujian bagaimana Indonesia merdeka, maka jawaban yang diharapkan guru adalah bahwa Jepang telah dikalahkan sekutu dengan dihancurkannya Hirosima dan Nagasaki dengan bom atom sehingga Jepangpun menyerah tanpa syarat. Di Indonesia telah terjadi perjuangan pergerakan rakyat yang begitu gigih dan sementara Jepang menarik pasukan, maka di Indonesia terjadi kekosongan kekuasaan sehingga pada waktu itu diproklamirkanlah kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Seorang guru akan mengrenyitkan dahi dan kesal bila ada siswa yang menjawab, kita merdeka karena Allah berkuasa dan berdaulat untuk memberikan kemerdekaan bagi Indonesia, sehingga kita bisa senantiasa memanjatkan syukur kita kepada Allah Bapa dengan bekerja segiat mungkin bagi bangsa Indonesia demi kemuliaan nama Tuhan. Namun kita harus berani untuk melihat hal ini, yaitu bahwa sejarah tidak akan pernah boleh dan tidak akan pernah bisa mendongkel Allah dari tahta kedaulatan-Nya, yang ada adalah kita gagal melihat Allah berkuasa dalam sejarah, khususnya pada periode krisis yang menghampiri kita.

Ada beberapa fokus yang kita lihat dalam kitab Tawarikh, antara lain kita melihat penekanan pada seluruh Israel. Meski pada waktu itu mayoritas suku yang tersisa adalah suku Yehuda, namun penulis memberikan tekanan pada Israel secara keseluruhan. Di dalam silsilah kita melihat bahwa silsilah kesemua suku Israel dituliskan disini. Kita melihat bahwa rencana TUHAN atas Israel tidak akan pernah gagal. Meskipun yang kasat mata adalah suku-suku Israel nyaris punah, namun penulis memberikan penekanan pada keberadaan mereka sebagai seluruh Israel. Disini sekali lagi kita melihat bahwa rencana TUHAN tidak akan pernah batal. Hal ini menguatkan dan sekaligus melumatkan. Bagi kita yang berada di dalam Kristus hal ini menyadi satu asuransi yang begitu kokoh, meski keadaan dunia kita terlihat begitu kalut kita tetap bisa yakin bahwa Allah kita tidak pernah gagal; sebaliknya bagi orang yang berkeras menolak Kristus kita akan melihat bahwa mereka akan tergilas di dalam kebenaran yang tidak akan tergoyahkan, rencana Allah akan terus berjalan, siapa yang menolak-Nya akan habis. Selanjutnya, tetap berkaitan dengan rencana Allah, kita melihat bahwa penulis memberikan penekanan yang kuat pada dinasti Daud. Raja-raja Israel (Utara) yang bukan berasal dari keturunan Daud tidak diberikan perhatian yang khusus kecuali bila berkaitan dengan raja-raja Yehuda (dinasti Daud). Selain menunjukkan kesinambungan rencana Allah, kita melihat bahwa Daud adalah raja yang memperkenankan hati TUHAN, pemerintahan Daud adalah perwakilan dari pemerintahan Allah sendiri, sehingga penekanan pada dinasti Daud juga merupakan penekanan pada ke maharajaan Allah sendiri. Selanjutnya penulis menekankan pada peran penting imam-imam dari suku Lewi, serta bait suci. David A. Dorsey mengamati peletakan suku Lewi sebagai pusat di dalam struktur kiastik (penulisan Alkitab khususnya Perjanjian Lama banyak memakai gaya penulisan ini) yang dibangun penulis pada bagian silsilah. Disini kita kita melihat bahwa penulis hendak memberikan penekanan yang begitu kuat untuk mendorong rakyat di dalam melakukan restorasi, kedua unsur itu yang adalah pertama Allah yang berdaulat, kedua keberpautan kita pada Taurat TUHAN.

Yosia dicatat baru berumur 8 tahun ketika ia menjadi raja, suatu usia yang sangat muda, suatu umur yang tidak ideal bagi seorang raja. Namun demikian ideal atau tidak idealnya seorang raja bagi penulis kitab Tawarikh tidak bergantung pada usia sang raja namun lebih kepada responsnya terhadap TUHAN. Allah bisa memakai siapa saja yang Dia mau, yang menjadi poin penting adalah Allah mau memakai bukan siapa yang dipakai. Yohanes Pembaptis pernah berseru dengan lantang bahwa Allah bisa menjadikan keturunan Abraham dari batu (Luk 3:8).

Beberapa indikasi penunjuk waktu yang dituliskan oleh penulis mencatat tindakan Yosia yang mencari Allah Daud (pada tahun kedelapan pemerintahannya 34:3), yang mulai mentahirkan Yehuda dan Yerusalem (pada tahun kedua belas pemerintahannya 34:3), serta yang menyuruh Safan untuk memperbaiki rumah TUHAN Allah (pada tahun kedelapan belas pemerintahannya 34:8). Beberapa ahli Perjanjian Lama, mengaitkan wakt-waktu tersebut dengan kondisi politik saat itu. Pada waktu itu (tahun ke 8, 12, 16 pemeintahan Yosia) kerajaan Asyur sedang mulai merosot, beberapa hal penting yang terjadi antara lain adalah kematian Asyurbanipal, Asyuretiliani, serta kegagalan Asyur untuk mengontrol Babel. Mungkin banyak sejarawan yang akan mencatat reformasi religius yang dilakukan oleh Yosia adalah karena kekuatan Asyur sudah mulai pudar, mereka bisa berkata tentu Yosia bisa melakukan itu karena Asyur sudah tidak mampu lagi menekan, bila Asyur kuat, tentu Yosia tidak mampu melakukannya. Melakukan reformasi agama dan menolak Allah yang disembah Asyur berarti pemberontakan terhadapnya, sekiranya Asyur masih kuat Yosia tidak akan melakukan tindakan nekad ini. Pandangan itu lenyap sama sekali ditangan penulis Tawarikh ini; bagi dia kesuksesan reformasi ini adalah karena hatinya berpaut kepada TUHAN Allah. Dia bahkan sama sekali tidak merasa perlu untuk mencatat mengenai kekuatan Asyur yang mulai jatuh, bahkan nama raja-raja yang mati pun tidak menarik baginya. Bagi penulis Tawarikh, yang perlu diperhatikan adalah sikap setia untuk mencari TUHAN. Beranikah kita mengaminkan iman penulis Tawarikh ini??? Mengapa kita bisa sukses, mengapa bisa meraih ini dan itu, karena kompetitor kita lengah, atau karena kita terlalu piawai dalam bidang kita??? Tidak, jawabannya adalah karena kita bersandar penuh pada TUHAN. Ini unik, di atas kita belajar bahwa keberadaan kita secara utuh adalah karena tangan kuasa TUHAN, dan disini kita diajar untuk berrespon kepada TUHAN dengan bersandar kepada-Nya.

Yang sangat menarik untuk dicatat adalah bahwa penulis Tawarikh merasa perlu untuk mencatat tindakan religius Yosia (serta raja-raja yang lain). Bukankah tugas seorang raja adalah pergi berperang, mengatur urusan militer dan kenegaraan??? Namun disini penulis Tawarikh memberikan satu penekanan yang lain, raja yang benar melakukan tugasnya demi mencari wajah TUHAN saja. Penulis tidak terlalu tertarik dengan pencapaian militer Yosia. Alih-alih mencatat keamanan negara, atau kemakmuran serta kekayaannya, penulis kitab ini justru mencatat kondisi rakyat yang berpaut kepada TUHAN pada masa pemerintahannya (34:33). Satu-satunya pencapaian militer yang diraih oleh Yosia adalah ketika dia mati terbunuh ditangan Nekho; saya percaya ini bukan merupakan pencapaian militer namun kegagalan dalam ibadah. Hal ini sama sekali bukan berarti bahwa kita harus melupakan segala tanggung jawab pekerjaan kita dan ramai-ramai pergi berdoa ke gedung gereja setiap saat, namun lebih kepada arah hati kita di dalam mengerjakan segala hal. Penulis Tawarikh ingin menegaskan bahwa raja yang diperkenan TUHAN adalah raja yang arah hatinya secara utuh menghadap hadirat Allah. Apakah tugas pelajar, ilmuwan,guru, dokter, dsb. Tentu jawabannya adalah belajar, melakukan penelitian, mengajar, mendiagnosa penyakit dan memberikan resep obat; namun semua itu harus dikerjakan dengan arah hati yang menuju kepada Allah, mengerjakan segalanya demi kemuliaan Allah semata.

Selanjutnya kita melihat pembaharuan bait suci dan penemuan kitab Taurat. Penemuan kitab Taurat ini menunjukkan bahwa kitab tersebut telah hilang, ini sangat memprihatinkan. Sekali lagi kita melihat bagaimana penulis memberikan titik berat pada penemuan kitab Taurat dan perkataan Hulda sang nabiah yang memberitakan berita penghukuman kepada bangsa itu karena mereka telah mereka telah berubah setia dari hadapan Allah. (34:25-26) Yosia telah merendahkan diri di hadapan TUHAN, ia mengoyakkan pakaiannya (tanda perkabungan) ketika mendengar kitab Taurat tersebut ditemukan kembali, dia mengatakan bahwa murka TUHAN tercurah karena dosa. Ini juga merupakan tema penting dalam kitab Tawarikh yang sangat jelas dari kisah ini, yaitu prinsip berkat dan kutuk. Ketaatan mendatangkan berkat dan ketidaktaatan mendatangkan kutuk. Prinsip ini terkadang kita abaikan, bahkan kita korbankan diatas altar anugerah. Kita berbicara mengenai anugerah, jadi meski kita berdosa namun Tuhan penuh belas kasihan dan pengampunan; sebaliknya ketika Tuhan memberikan kita kemujuran maka itu bukan karena kita baik tetapi hanya karena anugerah Tuhan. Saya percaya hal tersebut adalah sepenuhnya benar; namun bagian Alkitab yang menyatakan berkat dan kutuk sebagai upah dari tindakan manusia juga adalah benar. Dalam kitab ini secara khusus kita bisa melihat dengan jelas. Hulda menyatakan hukuman akan ditimpakan, namun karena Yosia meminta merendahkan diri meminta ampun maka Yosia tidak akan melihat hukuman tersebut ditimpakan. Pada zaman ini kita sudah sering kehilangan rasa takut kita akan penghukuman Allah; untuk membenarkan diri kita, kita beralasan dan berpura-pura menjadi rohani dengan berkata ah semestinya kita mencintai Tuhan bukan takut akan penghukuman-Nya, takut pada penghukuman itu adalah sifat tidak dewasa dan sangat kekanak-kanakan. Perkataan seperti ini sendiri merupakan perkataan yang sangat kekanak-kanakan sebab melupakan keberadaan diri kita yang sering kali memang masih bersifat kekanak-kanakan. Yang kita dapati adalah Alkitab juga mengajarkan kita untuk taat kepada Allah dan bila kita tidak taat kita akan dihukum, akankah kita jadikan bagian ini tidak relevan karena kita menganggap diri kita sudah dewasa??? John Calvin ketika menerangkan jabatan Kristus sebagai Raja, menerangkan kepada pembacanya bahwa karena Dia adalah Raja kita, maka kita memang akan berbagian dalam kemenangan-Nya, namun disisi yang lain kita juga harus tunduk secara total kepada-Nya.

Dalam perayaan Paskah yang dicatat dengan panjang lebar (lebih panjang dari pada yang dicatat dalam kitab Raja-raja) kita kembali mengingat betapa pentingnya perayaan yang seturut dengan hukum Taurat (perayaan ini diperintahkan di dalam hukum Taurat). Perayaan Paskah sangat penting, mengingatkan mereka apa yang TUHAN sudah buat bagi Israel, yaitu membebaskan mereka dari Mesir yang telah memperbudak Israel selama sekitar 400 tahun. Orang-orang yang kembali dari pembuangan harus kembali mengerti hal ini, mereka telah dibuang kurang lebih 70 tahun dan kini mereka kembali; Allah mereka pernah membebaskan Israel dari Mesir. Setiap kita dalam kondisi apapun juga harus mengingat hal ini bahwa TUHAN, Allah yang membebaskan Israel dari Mesir adalah Allah kita juga, bahkan Dia sudah memberikan Kristus Yesus, Putera tunggal yang dikasihi-Nya untuk mati menebus kita dari kutuk dosa. Sering kali kita tidak dengan sungguh-sungguh merayakan Paskah atau perjamuan kudus; kita melakukannya hanya sebagai seremoni rutin tanpa benar-benar mengingat karya Allah yang besar dalam hidup kita.

Dalam akhir hidupnya Yosia gagal untuk taat kepada TUHAN, Dia terbunuh ditangan Nekho. Yosia tidak mengindahkan peringatan Nekho yang menyatakan jangan menentang Allah. Ini patut menjadi pelajaran kita, mewarisi pemerintahan rusak dari Amon, Yosia justru mencari TUHAN, namun ditengah kestabilan justru dia gagal mengenal suara TUHAN dan melawan-Nya. Saya percaya kita sangat perlu untuk terus sadar; kita rentan terhadap dosa terutama ketika kondisi kita “baik-baik” saja. Kita perlu terus menengadah dan memohonkan TUHAN untuk memberikan kekuatan kepada kita untuk senantiasa hidup berpadanan dengan-Nya. Penulis Tawarikh belum melihat realisasi dari apa yang diharapkannya, yaitu ditegakkannya kerajaan Allah. Namun kita sudah melihatnya dalam diri Kristus Yesus yang telah datang dan menang, dan sebuah kehormatan yang besar bila kita, gereja Kristus di masa kini diberi kehormatan untuk meneruskan terus kerajaan ini hingga Dia menyempurnakannya dalam kedatangan-Nya yang kedua kali. Hal itu dipercayakan kepada kita, terberkatilah kita di dalam Dia.

GOD be praised!!!

1 comment: