Wednesday, February 3, 2010

Kecukupan Kristus - respon kita???

Galatia 3:6-10

Kita akan melihat kembali rangkaian argumentasi Paulus yang digunakannya untuk meneguhkan Injil yang diberitakannya. Seperti yang telah kita ketahui, kemurnian Injil sedang menghadapi suatu tantangan. Kecukupan Kristus yang diungkapkan oleh Paulus diperhadapkan dengan tantangan yang datang dari orang-orang Yahudi. Secara khusus, jemaat Kristen Galatia dikeruhkan dengan permasalahan yang sangat pelik; Injil Kristen kini didorong untuk “dilengkapi” dengan satu hal lain yang memang begitu lekat dalam tradisi Kristen sejak zaman Perjanjian Lama (selanjutnya ditulis PL), yaitu Taurat dan dalam kasus ini adalah sunat. Orang Yahudi memang telah mendapatkan penekanan selama berabad-abad bahwa janji Allah adalah kepada Abraham dan bukan kepada Haran atau Nahor (saudara-saudara Abram), kepada Ishak dan bukan Ismael, kepada Yakub dan bukan kepada Esau. Namun dalam PL juga mereka telah mengetahui bahwa sebenarnya orang asing bisa masuk dalam bagian perjanjian Allah dengan Abraham dan keturunannya tersebut, yaitu melalui sunat. Yang menjadi masalah adalah mengapa kini sunat tersebut dipermasalahkan setelah Kristus Yesus datang, mengapa kondisi tersebut harus diganti sehingga orang-orang non Yahudi tidak perlu lagi mengikuti syariat Yahudi. Sekali lagi, bagi Paulus yang menjadi permasalahan bukanlah sunat atau tidak sunat dalam pengertian sunat fisik (dikeratnya kulit khatan laki-laki), yang jadi permasalahan bagi dia adalah bahwa karya Kristus Yesus dinyatakan tidak cukup. Paulus menegur dengan emosional mereka yang telah menerima gambaran akan Kristus yang telah disalibkan tersebut namun masih bisa terperdaya oleh ajaran yang asing (3:1). Ini merupakan dosa dan kesalahan yang sangat fatal. Bila Kristus yang disalibkan itu sudah digambarkan dengan jelas, namun mereka masih bisa terperdaya oleh ajaran lain, maka mereka telah berdosa dengan sangat parah. Ini adalah suatu prinsip yang sangat sederhana, semakin besar kita telah menerima anugerah Tuhan, semakin jelas kita telah mengenal Kristus, semakin besar juga tanggung jawab kita untuk berrespon terhadap pengenalan tersebut. Anugerah harus diiringi dengan respons. Bila kita memiliki anak yang cacat mental, kita tidak menuntut dia untuk bisa belajar dan mendapatkan nilai seperti anak-anak normal, namun bila ada anak yang dikaruniai otak yang sangat pandai, namun dia malas dan sering tidak naik kelas, anak tersebut harus dihukum dengan keras sebab dia sudah menyepikan anugerah yang diterimanya. Bagaimana dengan kita??? Kita memiliki kemampuan untuk membaca, kita memiliki Alkitab dalam bahasa kita sendiri, tersedia untuk dibaca setiap saat, kita memiliki banyak akses untuk mengenal Tuhan melalui Firman-Nya; adakah kita sudah berespon dengan benar atas karunia yang diberikan-Nya kepada kita??? Kiranya kita yang diperkenankan Tuhan untuk terus bergumul dengan Firman, terus mendapatkan berbagai pembinaan yang baik dan dimampukan untuk berespon secara tepat dihadapan Allah.

Ben Witherington III menyatakan bahwa tidak biasanya Paulus menarik kepada PL ketika berbicara mengenai Kristus kepada orang-orang Kristen non Yahudi, namun disini dia menggunakan argumen tersebut (yaitu mengenai Abraham) karena dia mengasumsikan bahwa jemaat meski kebanyakan bukan Yahudi, cukup mengenal setidaknya hal-hal mendasar mengenai Abraham dan beberapa hal yang berkaitan dengan agama Yahudi melalui pembelajaran di sinagoge. Disini Paulus menggunakan contoh Abraham dengan begitu jitu. Pada waktu itu salah satu bentuk pembuktian yang sangat kuat dari sebuah analogi adalah dengan memberikan suatu percontohan khususnya contoh dari sejarah. Orang-orang Yahudi sangat mengagungkan Abraham (jemaat Galatia sangat mungkin mengetahui hal ini dari pengajaran-pengajaran dalam sinagoge). Paulus mengutip Kejadian 15:6 dan menyejajarkan jemaat Galatia dengan Abraham dalam satu hal, yaitu iman. Kejadian 15 ini merupakan afirmasi dari panggilan TUHAN kepada Abraham dalam Kejadian 12, dimana Allah berjanji untuk memberikan keturunan, memberikan tanah dan memberikan berkat bagi Abraham. Ini merupakan berbagai elemen yang sangat penting dalam budaya Yahudi. Karena Abraham percaya maka Abraham dibenarkan, dan jemaat Galatia menerima Roh karena mereka percaya kepada pemberitaan Injil. Menerima Roh dan dibenarkan adalah dua hal yang sangat berkait, namun FF Bruce menyatakan satu hal yang sangat indah, yaitu pada Abraham tidak dikatakan bahwa dia meneima Roh karena iman melainkan bahwa dia dibenarkan karena iman, sebab Abraham berada pada masa janji Allah, sementara jemaat Galatia yang hidup pada masa penggenapan dikatakan bahwa mereka telah menerima Roh. Kita telah melihat bahwa menerima Roh berkait dengan status orang yang dibenarkan oleh Tuhan. Betapa diberkatinya kita; Abraham menerima janji tersebut dan kita telah hidup pada masa penggenapannya. Bahkan jemaat Galatia (dan tentunya kita juga) merupakan objek penggenapan tersebut (oleh Abraham semua kaum mendapatkan berkat - Kej 12:3), lebih lagi merekalah (dan juga kita) yang menjadi realisasi penggenapan janji Allah keada Abraham, mereka yang hidup dari iman, merekalah anak-anak Abraham. Abraham harus menantikan hingga usia yang sangat tua sebelum dia menyaksikan secercah penggenapan janji Allah mengenai “banyak bangsa”, yaitu saat dia mendapatkan Ishak, namun kini kita mengetahui bahwa “bangsa yang besar” tersebut adalah kita, anak-anak Abraham berdasarkan iman. Ini kita hidupi di dalam iman kepada Kristus Yesus. Sekali lagi kita melihat, anugerah Tuhan telah begitu nyata, kita telah melihat Kristus Yesus yang disalibkan, di dalam-Nya kita menjadi penggenapan janji Allah kepada Abraham sebagai bangsa yang besar, dan juga terberkati. Harusnya hal ini menggelorakan batin kita untuk mengabdi sepenuhnya kepada Kristus Yesus Tuhan kita.

Kita kembali kepada rangkaian argumenasi Paulus; dalam membangun argumentasi, pada waktu itu umumnya diakui bahwa pernyataan-pernyataan yang lebih awal merupakan pernyataan yang lebih otoritatif dari pada yang terkemudian. Disini kita melihat bagaimana Paulus menyatakan bahwa Allah membenarkan Abraham sebelum dia disunat, bahkan sebelum dia mempersembahkan Ishak, lebih-lebih lagi jauh sebelum adanya hukum Taurat pada zaman Musa. Pembuktian ini sangat penting karena seperti kita ketahui Taurat memiliki peran yang sangat penting bagi orang-orang Yahudi. Kita melihat dalam 2:15 dikatakan bahwa menurut kelahiran kami adalah orang Yahudi dan bukan orang berdosa dari bangsa-bangsa lain. Orang Yahudi percaya bahwa mereka dipilih oleh Tuhan karena karunia Tuhan dan mereka diberikan Taurat yang harus mereka turuti; dalam Taurat tersebut mereka mendapatkan pengampunan dosa yang secara khusus digambarkan melalui berbagai macam upacara pengurbanan. Jadi bangsa-bangsa lain tidak memiliki sarana untuk mendapatkan pengampunan dosa sebab mereka tidak memiliki Taurat. Sekarang Paulus menyatakan bahwa ternyata Abraham dibenarkan karena iman, sebelum sunat, sebelum ketaatannya dalam mempersembahkan Ishak, dan tentunya sebelum adanya hukum Taurat Musa. Pada waktu itu ada literatur Yahudi yang menyatakan bahwa ada dua hal penting berkaitan dengan Abraham, pertama dia dibenarkan karena dia setia di dalam ujian, kedua, iman diiringi dengan penerimaan Abraham akan sunat. Kesetiaan Abraham dianggap layak mendapatkan jasa (meritorious) untuk dia dan keturunan-keturunannya. Disini kita melihat bahwa ternyata tidak mudah bagi manusia untuk menerima bahwa dirinya tidak berbagian di dalam keselamatan yang diberikan Tuhan kepadanya. Manusia lebih mudah untuk melihat jasa dirinya. Seringkali tidak mudah untuk menerima bahwa diri kita diterima Tuhan apa adanya, lebih mudah bagi kita untuk mendapati diri kita diterima Tuhan setelah kita melakukan ini dan itu. Ada seorang yang sakit keras diinjili di sebuah rumah sakit, lalu satu pertanyaan muncul dalam dirinya, benarkah dosa saya bisa diampuni hanya karena saya percaya pada Tuhan Yesus??? Sekali lagi hal ini menunjukkan betapa sulitnya menghidupi kisah anugerah ini, dan pada gilirannya kita pun susah untuk beranugerah pada orang lain. Kita lebih mudah untuk menerapkan standar-standar bagi orang lain. Kita melakukan sortir kepada siapa kita mau berteman, kepada siapa kita mau bergaul, bukan karena kita takut terpengaruh kebiasaan buruk, namun karena kita takut dirugikan. Kita tidak menghidupi doktrin Kristen yang sangat dasar ini, yaitu pembenaran oleh anugerah melalui iman.

Pola hidup seperti ini dikritik habis oleh orang-orang Postmodern. Levinas dan Derrida menyatakan bahwa penerimaan harus dilakukan dengan tanpa syarat. Mereka menyatakan bahwa yang disebut keramah tamahan (hospitality) adalah kesiapan untuk memberikan apapun yang kita miliki kepada siapapun orang asing yang mengetuk pintu rumah kita. Penerimaan harus diberikan secara radikal kepada siapapun juga dengan tanpa syarat apapun. Disini konsep penebusan klasik Kristen ala Anselmus sangat dikritik, Anselm menyatakan bahwa Kristus Yesus disalibkan diatas kayu salib karena Dia melunaskan hutang dosa bagi manusia yang berdosa. Orang-orang ini bahkan dengan berani menyatakan bahwa konsep penebusan seperti ini yang membuat dunia rusak. Allah yang hendak menerima manusia harus dipuaskan dahulu dengan satu syarat, yaitu pembalasan yang kejam, bahkan doktrin penebusan melalui kurban Anak Tunggal Allah dituduh sebagai penyiksaan/kekerasan terhadap anak secara ilahi (divine child abuse); keliaran pikiran orang-orang ini terus menggila dengan mengkreditkan kekerasan (violence) yang terjadi dalam dunia ini salah satunya adalah akibat konsep penebusan Kristen ini. Mereka menawarkan solusi yang dipandang lebih baik, yaitu penerimaan tanpa syarat, penerimaan apa adanya. Bagaimana kita menjawabnya??? Haruskah kekristenan kita direvisi oleh orang-orang Postmodern??? Apakah Allah kita adalah Allah yang ketika ingin mengampuni harus dipuaskan dahulu dengan darah Anak-Nya??? Tidak!!! Jauh-jauh hari kita telah mendapatkan nasehat dari Paulus yang menyatakan bahwa kita diterima Allah apa adanya, diri kita melalui iman, bukan melalui usaha diri kita, bukan melalui fit and proper test. Bahkan konsep anugerah telah tersebar sejak dalam PL. Bila orang-orang Postmodern berani dengan jujur melihat pada doktrin Allah Tritunggal, dimana dia mengerti betapa besarnya kasih Allah Anak kepada Allah Bapa, dan kasih Allah Bapa kepada Allah Anak; maka semestinya lutut mereka akan bergetar dan bibir mereka akan menganga melihat betapa Allah telah mengurbankan Putera Tunggal yang dikasihi-Nya untuk kita orang berdosa ini. Disini Yohanes 3:16 berbunyi secara lantang; Allah Bapa memberikan Putera Tunggal-Nya bukan karena kita baik, juga bukan karena Dia bisa dipuaskan melalui darah Anak-Nya, namun karena Dia mengasihi orang berdosa. Tidak heran Paulus sangat terpana atas Kristus yang disalibkan itu. Masih adakah ruang dalam batin kita yang membiarkan air mata kita meleleh ketika merenungkan betapa Allah mengasihi kita, meski kita sudah berdosa; bahkan lebih jauh lagi kasih itu dipaparkan melalui Kristus yang disalibkan itu??? Melalui iman saja kita diselamatkan, ya melalui iman saja, Kristus yang disalibkan adalah cukup dan tuntas!!! Terpujilah Kristus!!!

Hans Boersma menyatakan pola penerimaan apa adanya tanpa syarat apapun ala Postmodern memiliki lobang yang sangat besar. Penerimaan apa adanya tanpa syarat hanya akan menghasilkan kerusakan yang semakin besar. Sebuah contoh sederhana, bila kita memberi ruang bagi pembunuh, pemerkosa, penipu apa adanya tanpa syarat, maka akan terjadi kerusakan yang tak terkira. Namun kekristenan tidak seperti itu, Allah memang telah menerima kita yang begitu berdosa apa adanya, namun selanjutnya Allah menyucikan kita sehingga membuat kita mengalami progresi semakin hari semakin baik. Nanti dalam pasal 5 Paulus menyatakan buah-buah Roh. Kita diselamatkan hanya oleh anugerah Allah, hanya melalui iman, bukan karena kita baik, namun selanjutnya, kita oleh Roh menghasilkan buah keselamatan tersebut. Penerimaan Allah adalah penerimaan yang mentransformasi. Selanjutnya, Ronald Y.K. Fung mengeluarkan pernyataan yang sangat indah, yaitu bahwa Paulus menyatakan Abraham dibenarkan karena iman (bukan karena berbuat baik) untuk memberikan segala kemuliaan hanya kepada Allah semata, dan mengajarkan untuk kita mempercayakan diri hanya pada kesetiaan, dan kuasa-Nya. Kiranya ketika kita mengerti bahwa kita diterima, dibenarkan hanya karena iman yang adalah anugerah Allah; maka kita menghidupi pola anugerah ini (rule of grace). Kita juga semestinya melihat semua saudara kita, pasangan hidup kita, anak-anak kita dalam pola anugerah, kita mengasihi mereka bukan karena mereka baik, pintar, seksi, jujur dsb. Namun seperti Tuhan telah mengasihi kita berdasarkan pola anugerah, kita juga menghidupi anugerah tersebut. Mari sekali lagi kita menundukkan kepala kita dengan jujur, melihat penggenapan janji Allah yang telah dipenuhi dalam gereja Tuhan, yaitu kita saat ini, melalui anugerah Allah semata-mata, melalui iman. Dengan kesadaran sedemikian, jiwa kita yang bergetar bersama melantunkan pujian doksologi yang tertulis dalam surat Roma 11:33-36 “O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya! Sebab, siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan? Atau siapakah yang pernah menjadi penasihat-Nya? Atau siapakah yang pernah memberikan sesuatu kepada-Nya, sehingga Ia harus menggantikannya? Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya! Amin!!!

GOD be praised!!!