Sunday, August 2, 2009

Jati diri kita

1 Sam 3-4:1a

Mari kita memperhatikan secara khusus ay 1. Ayat tersebut menunjukkan setting yang sangat mengerikan bagi bangsa Israel. Bangsa Israael sedang berada di bagian akhir dari masa Hakim-hakim. Masa hakim-hakim kita ketahui sebagai masa yang kelam dalam sejarah Israel, masa dimana setiap orang melakukan apa yang dianggap benar menurut benaknya sendiri. Sebelum Samuel, kitab hakim-hakim diawali dengan perang suci, dan diakhiri dengan perang saudara dimana suku Benyamin nyaris dipunahkan dalam satu genocide oleh saudaranya sendiri. Sebuah kengerian yang luar biasa besar; saya membayangkan film shooting dogs dimana suku Tutsi dan suku Hutu di Rwanda berperang saudara; kalau lihat film tersebut saya tidak bisa membedakan mana Tutsi dan mana Hutu; bahasanya sama, kulitnya sama, wajahnya mirip, mereka melakukan razia suku tersebut bersasarkan KTP. Kengerian yang luar biasa kejam. Pada akhir kitab Hakim-hakim kita melihat orang-orang Benyamin hampir dipunahkan karena kekejiannya yang begitu rupa, dan memang tidak heran karena disana dituliskan bahwa orang melakukan apa yang baik menurut apa yang dipandangnya baik. Pada waktu itu tidak ada raja di Israel. Disini kita melihat bahwa kondisi tidak ada raja bukanlah suatu kondisi ideal. Ay 1 menyatakan bahwa pada masa itu firman TUHAN jarang dan pengelihatan-pengelihatan tidak sering. Ini sangat mengerikan, bangsa Israel adalah bangsa yang dimiliki oleh TUHAN Allah sendiri, dan firman TUHAN melalui para nabi menunjukkan hubungan yang begitu dekat antara Allah dengan umat-Nya, sehingga ayat pertama pasal ketiga ini sudah langsung menggambarkan kemuraman yang sangat perih, TUHAN seolah diam dan tidak memperhatikan mereka. Kitab Samuel ini menjadi pengantar, mengawali sebuah babak baru dari rencana TUHAN Allah yang seolah sudah akan segera direvisi karena gagal. Kita akan melihat bahwa rencana Allah akan karya ciptaan-Nya satu per satu digenapi, meski kuasa dosa terlihat sangat kuat namun justru kita melihat penggenapan demi penggenapan karya Allah tersebut. Melihat hal ini kita akan dibawa pada satu realita besar yang harus kita akui, sebah realita yang menjadi wadah bagi kitab Samuel ini, yaitu panjang sabar TUHAN.

Untuk mengerti konteks panjang sabar ini sama sekali bukan hal yang simpel bagi kita. Kita sudah terbiasa melihat gambaran karikatur kita terhadap orang karismatik yang melihat Allah seperti kakek tua yang tidak bisa marah, sebuah gambaran romantis yang diresponi secara keliru oleh banyak orang sehingga membuat hidup menjadi sembarangan. Pertama, penjang sabar bukan berarti tidak pernah marah, atau melulu romantis dan berwarna soft pink. Halangan kedua adalah bahwa dalam tradisi kita, yaitu Reformed yang banyak diwarnai modernitas, kita sangat terbiasa untuk melihat wajah Allah dalam potret Calvin yang jarang tersenyum (atau bahkan tidak pernah). Kita terbiasa dengan jargon-jargon mengenai Allah yang berdaulat, maha kuasa dan membenci dosa. Ketika menginjili orang, kita sering menggunakan ilustrasi dimana 10 telur baik yang dicampur 1 telur busuk tetap adalah telur yang tidak baik, dan berdasarkan susunan logika yang dibangun seakurat mungkin menurut standar keilmuan modern maka Allah yang sempurna tidak mungkin bisa menerima kita yang sedemikian kotor ini. Menarik sekali, ini adalah gambaran yang dihidupi baik oleh Anselm maupun oleh Reformator besar, Martin Luther. Anselm dalam Cur Deus Homo, mengkritik balik orang yang mempertanyakan sifat Allah yang dianggapnya mengerikan karena hanya untuk mengampuni dosa manusia, Dia harus melakukan child abuse kepada Anak-Nya sendiri hanya untuk kepuasan-Nya. Anselm mengatakan bahwa pernyataan sedemikian adalah pernyataan yang salah, seharusnya diajukan pertanyaan mengapa perlu Allah mengampuni manusia yang berdosa. Dosa sungguh sangat serius di hadapan Allah, karena itu semestinya kita semua dibinasakan. Argumentasi seperti ini pula yang sering kita pakai. Pergumulan diri Luther yang gagal dalam mencapai kesempurnaan untuk diterima Tuhan juga sering kita angkat untuk menyatakan besarnya anugerah Tuhan. Kita sedikit terhilang dari gambaran Allah yang panjang sabar. Panjang sabar adalah suatu sifat Allah yang lain dari perspektif keadilan Allah Anselmian, bukan bertentangan namun berbeda. Hal lain yang membuat kita sulit untuk melihat sifat panjang sabar TUHAN Allah ini adalah berbagai penafsiran yang salah dari pembacaan yang sembrono dari orang-orang yang mengkritik Alkitab, serta pembelaan yang tanggung dari kaum Injili. Yang saya maksudkan adalah pemakaian kaca mata yang salah ketika kita mendekati Alkitab. Kita masih mendengar serangan klasik yang mengatakan bahwa Allah Perjanjian Lama (PL) adalah Allah yang haus darah, yang pendendam dan pembalas, koaran sembrono Dawking tersebut disuarakan kembali pada zaman postmodern ini oleh orang-orang yang trauma dengan kekerasan-kekerasan yang mewarnai rapor Modern sehingga seolah membuat kekristenan terpojok atau bahkan tidak memiliki ruang lagi selain beberapa babak yang menceritakan teladan moral. Namun semestinya hal itu sama sekali tidak menggoyahkan kita, meski kita semestinya memang memiliki pertanggung jawaban atas pengenalan kita akan Allah. Ketika kita melihat kembali secara kontekstual maka kita akan melihat betapa jauh melesetnya pernyataan tersebut dari hermeneutika yang benar. Kita sering mengatakan bahwa pertanyaan bahwa Allah membasmi bangsa asing sebagai pertanyaan yang sulit, bagi saya hal itu tidak semestinya menjadi pertanyaan yang sulit. Tindakan Allah adalah sebuah tindakan sejarah yang tidak bisa kita ekstraksikan menjadi kebenaran abstrak yang akan diterapkan dalam semua zaman, karena itu kita perlu membaca bagian tersebut sesuai dengan konteks zaman dan propaganda penulis. Dalam PL tindakan Allah membasmi bangsa-bangsa asing adalah menyatakan bahwa Allah menghendaki kemurnian hidup yang tidak dicampur baurkan dengan kerusakan moral dan religi yang sudah begitu kotor. Tindakan-tindakan penghukuman Allah selain berbicara mengenai kesucian dan keadilan-Nya juga berkata banyak mengenai pemeliharaan-Nya atas ciptaan ini.

Panjang sabar, atau lambat untuk marah adalah karakter Allah yang diperkenalkan sendiri oleh Allah kepada Musa ketika bangsa Israel baru saja dihajar dengan kematian 3000 orang karena dosanya menyembah lembu emas. Apakah ini merupakan sebuah pernyataan yang tidak kontekstual, bukankah Allah baru saja memusnahkan 3000 orang, mengapa dia menyatakan Diri-Nya sebagai Allah yang lambat untuk marah??? Ketika kita merasa perkataan Allah tidak kontekstual, kita harus mengoreksi diri. Kepada Allah yang sedemikian inilah Musa memberanikan dirinya untuk memohon agar Allah tidak meninggalkan bangsa itu untuk berjalan sendiri di padang gurun. Musa menyadari bahwa Allah adalah Allah yang penyabar, penyayang, pengasih, hal ini membuatnya bisa menaikkan doa nya di hadapan Allah, memohonkan suatu hal yang hampir tidak mungkin, yaitu penyertaan untuk bangsa yang tegar tengkuk.

Kita melihat sejarah panjang Israel sebagai bangsa budak, dan bangsa budak tersebut telah menjadi sebuah bangsa dan segera akan menjadi kerajaan, disinilah kitab Samuel ini menjadi begitu penting. Allah telah berjanji kepada Abraham untuk membuatnya menjadi bangsa yang besar, yang akan menjadi berkat. Namun apa yang terjadi, di dalam penggenapan janji TUHAN itu, yaitu ketika bangsa Israel telah bertumbuh menjadi banyak, mereka bukan menjadi imam bagi dunia untuk meyatakan kemuliaan Allah, mereka justru menjadi budak. Dalam kondisi seperti itulah mereka berteriak dan TUHAN mendengarkan mereka. Tuhan mendengarkan teriakan orang yang tertindas, seringkali dalam hidup kita TUHAN membiarkan kita untuk berada dalam keadaan yang sangat tertindas, maka jangan kita pernah ragu untuk berteriak kepada Allah. Bangsa budak tersebut didengarkan oleh Allah dan dikeluarkan dengan tangan yang teracung kuat; namun bangsa budak tersebut memberontak dan membelakangi Allah. Setting belas kasihan Allah dan pembangkangan manusia ini terus berulang, sampai masuk zaman para hakim; dimana bangsa budak tersebut telah diam di suatu tempat. Itulah sebenarnya kisah hidup kita, hidup kita diisi dengan ketidak taatan di hadapan Allah, namun Allah terus bersabar dalam menantikan kita kembali kepada-Nya.

Pada zaman Hakim-hakim, kita melihat bahwa pada umumya kondisi para hakim makin kebelakang makin merosot, dosa mereka semakin jadi, dan hal ini secara mengerikan ditutup dengan kerusakan moral bani Benyamin dan anak-anak Israel yang berlaku menurut apa yang dianggap baik menurut dirinya sendiri. Kitab Samuel dibuka dengan kisah aib, yaitu seorang yang mandul. Hal ini sudah membrikan warna kelam pada kondisi saat itu; kemandulan adalah dipandang aib pada zaman tersebut, keturunan berarti penurunan warisan dan penurunan janji kovenan. Saat ini banyak diantara kita yang sangat sembarangan dalam masalah pasangan hidup, sangat berani dalam berpacaran, tidak peduli iman. Mandul dianggap aib bukan seperti budaya China yang punya pandangan banyak anak banyak rejeki, banyak anak melambangkan kesuburan, banyak anak berati banyak pekerja dsb ataupun sebagai penerus marga sehingga di China pun mandul sering dipandang sebagai aib. Namun budaya Ibrani sungguh beda, mandul dipandang aib karena anak merupakan blessing inilah perintah yang diberikan TUHAN sebelum manusia berdosa yaitu untuk beranak cucu dan memenuhi bumi, membuat kerajaan Allah semakin luas; hal tersebut tidak berubah dalam sejarah Israel. Keturunan merupakan suksesi kovenan, perluasan Kerajaan Allah. Sangat bahaya budaya modern saat ini yang mau menikah, mau seks, tapi tidak mau anak, ide ini sangat berlawanan dengan konsep Alkitab. Namun sebaliknya juga berbahaya kalau orang mau punya anak, ingin melihat anak yang lucu, tapi sesungguhnya tidak mengerti mengapa mesti punya anak, punya anak mirip dengan insting hewani yang mana memang ada waktunya bagi manusia untuk menghasilkan keturunan. Memiliki keturunan merupakan suksesi kovenan dan oleh karena itu pada waktu itu adalah aib bila seorang perempuan tidak punya anak. Dalam konteks budaya sedemikian maka kita tidak heran bahwa seorang perempuan bisa memberikan gundiknya kepada suaminya untuk membangkitkan keturunan bagi si perempuan itu, hal ini harus kita baca sekali lagi sesuai dengan konteks zaman waktu itu. Pada zaman sekarang orang stress kalau sudah menikah belum punya anak, tapi alasannya sangat sepele yaitu takut dijadikan buah bibir orang, atau sekedar ingin menimang anak, atau ada perasaan bahwa kurang jadi wanita kalau tidak ada anak. Bagi kita yang belum punya anak, tidak usah kuatir, yang penting kita memberitakan Injil untuk mewariskan kovenan Allah. Kemandulan Hanna menjadi gambaran betapa Israel juga mandul, Israel bukan saja tidak mewariskan kovenan, menjadi berkat bagi bangsa-bangsa lain dengan membawa pengenalan akan TUHAN, satu-satunya Allah yang hidup, mereka justru hidup menurut kelakuan orang-orang kafir. Bukankah itu kehidupan kita, tentang kitalah kitab Samuel ini, yaitu tentang umat Allah. Kita dipanggil untuk menjadi berkat, kita dipanggil untuk menjadi bangsa imam yang menyerukan kepada dunia siapa Allah yang sebenarnya, melalui segala hal yang Tuhan percayakan untuk menjadi tanggung jawab kita, namun kita mandul. Ini adalah aib yang besar, kita bukan saja tidak menjadi suksesi kovenan, kita tidak memberitakan Allah yang asli, namun kita hidup menurut kelakuan orang-orang yang tidak mengenal Tuhan, dan bahkan kitalah yang membuat nama Tuhan menjadi cemar.

Berbeda dengan Goliat yang menghina TUHAN dengan nama allah-allah asing, orang-orang Filistin tidak menghina TUHAN. Setelah tabut Allah dirampas, mereka memasukkannya dalam kuil dewa Dagon mereka. Yang membuat nama TUHAN dipermalukan adalah Israel sendiri. Kitalah yang sering kali menjadi onakdalam orang mempermuliakan nama TUHAN; berapa banyak diantara kita yang melalui tindakan kita orang gemetar kepada TUHAN??? Membuat orang gentar sambil berkata: “Memang benar, ini orang Kristen, mereka memiliki Tuhan yang mengalahkan segala sesuatu”; saya percaya memang ada, hanya tidak banyak. Sebagian besar dari kita hidup biasa-biasa saja, mungkin tidak membunuh orang namun hidupnya biasa; selain setiap hari Minggu pergi ke gereja, kita tidak ada bedanya dengan orang lain. Bila teman kita tidak mengerti bahwa kita hari Minggu kegereja, kira-kira apakah mereka tahu bahwa kita ini Kristen, dan bila mereka tahu kita Kristen, apakah mereka menjadi gentar kepada Tuhan karena kita??? Orang Filistin ketakutan ketika tabut TUHAN datang kepada mereka, namun Israel yang berdosa membuat mereka terpukul kalah, dan menjungkirkan nama TUHAN. Gawat!!! Apakah TUHAN gagal??? Tidak, kitalah yang gagal. Kita harus bertobat. Ini sangat ironis, nubuat seorang abdi Allah kepada Eli sangat mengerikan, nubuat tersebut membukakan sebuah realita yang mengejutkan, si Eli, yang moyangnya dipilih TUHAN diantara suku Israel ternyata menghormati anak-anaknya lebih dari pada TUHAN, memandang loba kepada persembahan yang diberikan kepada TUHAN, dan menggemukkan diri dari bagian yang terbaik. Dosa yang sangat besar, dilakukan oleh pemimpin rohani tertinggi waktu itu. Adam, Hawa semestinya menjadi imam bagi ciptaan namun mereka gagal, Allah menjanjikan keturunan perempuan akan meremukkan kepala ular, namun keturunan perempuan tersebut justru meremukkan kepala Habel, adiknya, Tuhan masih memelihara dan memberikan Set yang akhirnya menurunkan Enos dan akhirnya Enos melahirkan Nuh. Dari Nuh ini Allah ingin memulihkan ciptaan dimana manusia berperan sebagai imam, namun manusia ingin menjadi tinggi sehingga mereka membangun menara Babel, namun Allah menyerakkan mereka. Janji Tuhan tidak gagal, Allah kemudian memilih Abraham, untuk menjadi berkat bagi semua bangsa. Sekali lagi pemilihan Abraham bukan untuk membuatnya menjadi bangsa yang eksklusif tinggal di Kanaan, Israel semestinya menjadi kerajaan Imam, menjadi showcase bagaimana manusia semestinya hidup; namun sekali lagi manusia gagal. Rangkaian kegagalan ini semestinya membuat kita semakin jelas melihat panjang sabarnya TUHAN karena Dia tidak mengalihkan rencana-Nya, Dia membangkitkan para hakim untuk memimpin kumpulan budak yang kini telah menghuni tanah Kanaan tersebut. Namun kehidupan Israel jauh dari harapan untuk menjadi imam, untuk menjadi showcase. Bukankah itu adalah kita; kita semestinya menjadi showcase bagi dunia ini, dunia yang tanpa Firman tidak tahu bagaimana semestinya manusia hidup, kita tentu mendengar bagaimana Obama bersikap sangat pro terhadap homoseks, dan celakanya banyak gereja yang mau menikahkan pasangan homoseks, kita melihat bagaimana dunia memuja seorang kulit hitam yang berhasrat untuk menjadi putih sembari menyanyikan lagu Black or White, dunia kita yang sudah kehilangan figur “manusia”. Dunia semestinya menengokkan kepala kepada kita, showcase sejati dari manusia, namun ah ternyata kita sama saja dengan dunia ini. Kita juga tidak mengerti bagaimana hidup menjadi manusia Kristen, kita tidak tahu harus menikah dengan siapa dsb.

Masa hakim-hakim gagal, namun TUHAN terus berpanjang sabar, bangsa tersebut akan dibawa menjadi suatu Kerajaan, menggenapkan kembali janji-Nya kepada Abraham. Kepada bangsa yang mandul, Allah memberikan kesuburan. Hana yang mandul diberikan karunia Allah, sekali lagi melalui teriakan perih, melalui tekanan yang diajukan lewat Penina, yang membuat Hana berteriak di bait Allah. Ketika Hana berdoa sungguh-sungguh, sekali lagi kita melihat ironi besar, Eli sang imam, sang pemimpin rohani menganggap Hana mabuk oleh anggur, menganggap Hana perempuan dursila. Sering kali dalam memberikan pertolongannya, TUHAN merelakan diri kita untuk berada dalam tekanan yang berat sekali, jangan pernah ragu untuk berteriak kepada Allah ketika tekanan sedang terjadi. Kelahiran Samuel merupakan jawaban Allah kepada Hana, bukan sekedar kepada Hana, melainkan kepada seluruh umat Israel yang mandul. Ironi besar sekali lagi terlihat, Hana, si perempuan mandul mempersembahkan anaknya menjadi nazir Allah, sementara Eli sang imam menggendutkan diri dari bagian persembahan yang terbaik, benar-benar celaka. Panggilan Samuel (1 Sam 3:1b – 4:1a) menjadi satu puncak dari struktur kiastik bagian pertama kitab Samuel ini. Betapa panjang sabarnya TUHAN, kemandulan (aib) Hanna dijawab dengan lahirnya Samuel, dan kemandulan (aib) Israel dijawab dengan panggilan TUHAN kepada Samuel.

Adapun berita pertama dari nabi Samuel adalah berita mengenai penghakiman. Jangan pernah kita bermain-main dengan Allah, ketika Dia akan memberikan sebuah restorasi, Dia membersihkan Israel yang jahat. Manusia diusir keluar dari Eden, Kain dijatuhi hukuman, air bah diberikan, bahasa dikacaukan, Kanaan ditumpas, Israel dihukum di padang gurun, keluarga Eli dihabisi; ini bukan kisah mengenai haus darah nya TUHAN, ini adalah kisah mngenai panjang sabarnya TUHAN dalam memelihara umat-Nya, untuk memberikan penggenapan janji Allah dalam membuat Israel menjadi berkat bagi semua bangsa, dan pada saat yang bersamaan ini adalah cerita mengenai kebangetannya manusia. Mari kita merenungkan bagian ini. Inilah kisah hidup manusia, inilah kisah hidup Israel, dan inilah kisah hidup kita. Kitalah gereja TUHAN yang menghidupi cerita ini. Mari kita berdoa agar ada “nabi” TUHAN dibangkitkan (bukan dalam jabatan namun dalam fungsinya); nabi dalam bidang ekonomi, nabi dalam bidang politik, nabi dalam bidang pendidikan, nabi dalam bidang medis, nabi dalam gereja; nabi yang berteriak dan menegur dosa manusia, dan kita siap untuk berkata, ini aku TUHAN utuslah aku. Ya kita adalah milik Kristus, Kristus adalah sang nabi yang sejati, dan jabatan kenabian ini sekarang kita emban di tengah dunia yang rusak ini. Saya miris mendengar kabar bahwa sekarang hidup manusia, bahagia dan susah kita sudah sangat sempit, kita dikurung hanya oleh angka. Kita nongkrong di depan TV melihat index Dow Jones, memelototi angka-angka yang kita sembah sebagai TUHAN kita, kia kehilangan momen tertawa bersama-sama anak-anak kita, memanjat pohon mangga bersama anak kita, dimana istri kita menangkap mangga yg jatuh. Bahagia susah kita sekarang dikontrol oleh suku bunga bank. Kita merasa girang dan keren karena setahun 4 x bisa jalan-jalan keliling Eropa, namun kita tidak sadar bahwa seluruh hidup kita sudah dikurung dan digerogoti oleh angka, kita seperti sapi yang dibelenggu angka dan setiap 2 bulan dikasi break 2 minggu untuk keluar negri. Sungguh mengerikan. Mari kita berdoa kepada TUHAN, minta kepada Dia, sadar bahwa kondisi kita tidak baik, minta Dia hidupkan kita sebagai manusia yang sejati, menjadi showcase kepada dunia ini, betapa kita hidup bahagia dalam mempermuliakan Allah, dalam mencintai Dia. Hidup seperti ini sangat terberkati, kelewat bahagia. Kiranya Dia diagungkan dan dimuliakan sampai kita mati, sampai kiamat, sampai selama-lamanya, Amin.

GOD be praised!!!

No comments:

Post a Comment