Monday, June 29, 2009

Khotbah Stefanus

Kisah Para Rasul 7 menjadi semacam trailer yang begitu indah dari karya penebusan Tuhan Allah. Disini kita melihat Stefanus sebagai orang yang sangat disertai oleh Tuhan, sehingga khotbahnya begitu jitu dalam memberikan highlight terhadap peristiwa-peristiwa dalam Perjanjian Lama sampai penggenapan-Nya pada Kristus Yesus. Sebelum khotbahnya, dicatat hal yang menarik mengenai Stefanus, yaitu bahwa dia adalah orang yang penuh dengan Roh Kudus, dan dikonfirmasi dengan berbagai tanda dan mujizat. Lukas (banyak dipercaya sebagai penulis Kisah Para Rasul) bahkan mencatat bahwa orang-orang melihatnya seperti malaikat. Namun hal tersebut tidak membuat mereka percaya kepadanya, bahkan sebaliknya mereka bahkan menghasut banyak orang untuk menyerahkan Stefanus ke hadapan Mahkamah agama dan disanalah Stefanus dituduh telah melakukan penghinaan terhadap bait suci, hukum Taurat serta adat istiadat orang Yahudi. Sebuah trik memalukan dari orang-orang yang menjunjung tinggi agama, namun juga sebuah kesempatan pelayanan yang begitu berharga ketika kondisi tersebut justru memberi Stefanus ruang untuk menyampaikan khotbah fenomenal, sebuah khotbah yang benar-benar mewartakan Kristus dengan begitu jelas, sebuah khotbah oleh seorang diaken yang dicatat dalam Alkitab dan akan terus menerus dibaca orang. Sebuah peristiwa mungkin memaparkan dengan begitu jelas kemiskinan manusia akan segala hal yang baik, dan peristiwa yang sama bisa juga menjadi sebuah kesempatan emas dalam mempresentasikan kesucian yang menyenangkan TUHAN. Mengapa mereka yang telah melihat Stefanus seperti malaikat tidak menjadi takut dan bertobat??? Hal tersebut telah menunjukkan bahwa mereka sama sekali bukan sedang mencari Tuhan namun mencari kepentingan pribadi. Gairah yang besar dalam menaati Tuhan sudah sangat dipengaruhi oleh kepentingan politis manusia, setiap kita memiliki agenda-agenda tertentu dan kita berharap tidak siapa pun juga mengusik, dan tidak juga Tuhan. Pdt. Rudie Gunawan 2 minggu lalu berkhotbah bahwa di tempat pengadilan sering terdapat ketidak adilan. Di hadapan mahkamah agama mereka memberikan tuduhan palsu, mengingatkan kita akan apa yang terjadi pada Tuhan Yesus, Dia dijatuhi hukuman akan tuduhan palsu. Tuduhan yang dialamatkan secara sembarangan kepada Stefanus merupakan tuduhan yang begitu berat. Berkaitan dengan jantung religi mereka, yaitu mengenai bait suci dan taurat. Tentu orang-orang Yahudi masih mengingat pahitnya pembuangan di Babel, serta perihnya hati mereka ketika Bait Suci yang dibangun Salomo, kebanggaan religi dan identitas bangsa mereka harus luluh lantak. Demikianlah tuduhan bahwa Stefanus memberitakan bahwa Yesus akan merubuhkan bait suci tersebut merupakan suatu tuduhan yang begitu berat, yang membangkitkan kembali luka yang masih belum sembuh dari bangsa Yahudi.

Stefanus memulai khotbahnya dengan memaparkan tidakan Allah terhadap Abraham dan bagaiana keturunannya kemudian. Bagaimana bangsa itu kemudian diperbudak oleh Mesir. Dan dengan tangan yang teracung Tuhan menuntun umat-Nya keluar dari Mesir; namun selanjutnya umat Tuhan justru berdosa dan menyembah berhala. Perjalanan hidup kita seringkali mencatat kegagalan kita berbakti kepada Tuhan, sebuah ironi besar yang harus disetujui oleh mahkamah agama, karena dalam poin ini dia belum bertentangan dengan Stefanus, sebuah berita yang semestinya membawa manusia melihat kedalam dirinya, dengan segala kebangkrutannya yang seharusnya membawanya kepada penyesalan dan permohonan belas kasihan. Namun sungguh ironis, ketika Stefanus menyatakan dan mereka telah mendengar berita tersebut, mereka menolaknya. Sekali lagi kita melihat bahwa mereka sama sekali tidak menginginkan Firman yang mereka mau dengar hanyalah apa yang mereka mau dengar. Sedikitpun mereka tidak dapat membantah pun berdalih, namun hal tersebut semakin membuat mereka marah. Ketika kebenaran datang dan menelanjangi segala keboborakan diri, alih-alih bertobat mereka justru marah dan membunuh Stefanus. Manusia tidak mengharapkan kebesaran Tuhan dinyatakan, manusia hanya berharap sesuatu yang baik menurut definisi sendiri datang. Seberapa sering ketika anugerah Tuhan datang kepada kita dengan dinyatakannya kesalahan kita, kita justru menjadi marah besar. Bangsa Israel merupakan bangsa yang mengecap berkat Tuhan yang luar biasa besar; TUHAN, Allah semesta alam berkenan untuk menjadi Allah mereka. Namun ironis, ketika Allah menyatakan diri kepada manusia melalui para nabi (Ibr 1:2) yang menegur, menyatakan kesalahan, menyerukan pertobatan, para nabi tadi justru banyak yang disiksa bahkan dibunuh. Yohanes pembaptis yang menjadi nabi pertama setelah masa intertestamental pun mengalami nasib yang serupa; kepalanya diletakkan diatas talam, terpisah dari tubuhnya, karena berita kebenaran yang disampaikannya tidak disukai oleh manusia. Puncaknya adalah Kristus Yesus, sang Allah sendiri yang datang dan mewartakan Injil juga dibunuh. Raja Asa menjadi cerminan yang sangat nyata dalam hidup kita. Alkitab mencatat Asa sebagai orang yang benar (2 Taw 14:2; 1 Raj 15:11), namun ketika dia melakukan kesalahan dan TUHAN menegurnya melalui Hanani, dia menjadi sakit hati dan memasukkannya ke dalam penjara (2 Taw 16). Kita harus senantiasa sadar, orang benar tidak imun terhadap gangguan dan kejatuhan. Sering kali reaksi awal ketika teguran TUHAN datang kepada kita, reaksi kita adalah ketidak senangan, kita ingin menutup mulut TUHAN agar Dia tidak ribut. Sebuah kecelakaan yang sering, namun jarang kita sadari.

Sangat tertusuk hati mereka (ay 54). Itulah reaksi mereka ketika berita Stefanus dikumandangkan. Berita Injil yang diberitakan dengan benar akan menelanjangi segala kebobrokan kita. Membongkar segala kepalsuan, terutama di dalam memanipulasi Tuhan. Kita harus bertanya bila keberadaan diri kita tidak pernah “mengusik dunia”, baik itu sesama atau lingkungan kita. Bila kita membawa berita Injil dalam seluruh hidup kita, maka orang berdosa akan terusik, mereka mungkin bertobat, dan sebaliknya mungkin juga mereka akan tidak nyaman dengan keberadaan kita. Celakanya banyak orang Kristen saat ini yang sama sekali tidak berbeda dengan dunia berdosa, identitas kita sebagai Kristen hampir tidak dapat dikenali selain kita pergi ke gedung gereja tiap hari Minggu. Kita harus berani menantang diri kita, apakah kita benar-benar telah mengusung jati diri kita yang asli sebagai gereja yang senantiasa membawa berita Injil dalam keseluruhan hidup kita, baik dalam pikiran, perkataan ataupun perbuatan.

Stefanus menikmati satu bahagia puncak ketika Dia diperkenankan untuk melihat Tuhan Yesus berdiri di sebelah kanan Allah Bapa, satu hal yang dirindu-rindukan oleh orang-orang saleh (adakah kita mendambakan Allah???). Kerinduan terhadap Allah inilah yang mendorong Musa untuk berdoa supaya diperkenankan untuk melihat kemuliaan Tuhan (Kel 33:18). Betapa bahagianya Stefanus yang dalam masa hidupnya di bumi sudah diperkenankan untuk melihat sendiri Kristus Yesus yang telah dibangkitkan dan naik ke sorga. Dalam khotbah Petrus kita melihat kuasa Allah Roh Kudus yang begitu besar di dalam memulihkan kondisi orang Kristen yang mengingat kembali karya Kristus dalam kematian-Nya diatas kayu salib serta kebangkitan-Nya yang ajaib, dari sana banyak orang yang bertobat. Sekarang kita melihat karya dari Alah Roh Kudus yang sama, yaitu bekerja secara luar biasa dalam khotbah Stefanus. Namun hasil yang diraih seolah sangat berbeda. Ketika Petrus berkhotbah, ada 3000 orang yang bertobat, namun ketika Stefanus berkhotbah, dia mendapatkan kegeraman yang memuncak dengan diiringi lemparan batu yang menghancurkan badannya sampai dia mati. Sesungguhnya hasil dari kedua khotbah tadi (khotbah Petrus dan khotbah Stefanus) adalah sama, yaitu nama Tuhan dipermuliakan, Dia disenangkan. Inilah yang semestinya menjadi segenap cita-cita kita, yaitu dalam seluruh hidup kita, kita membawa Injil Tuhan, dan Diapun disenangkan melalui kesetiaan kita.

Para saksi meletakkan jubah Stefanus di depan Saulus, dan pada 8:1a kita melihat bahwa Saulus juga Stefanus mati dibunuh. Saulus yang dinyatakan sebagai seorang muda, telah menjadi saksi sebuah pembunuhan yang begitu kejam. Kekejaman yang dilegitimasi oleh semangatnya dalam membela agama (yang salah). Namun di sisi yang lain, kita melihat bahwa Paulus pun nantinya menjadi seorang yang begitu kukuh dalam memperjuangkan iman dan diapun beroleh kehormatan untuk mati sebagai martir, sebagai saksi Kristus. Kematian Stefanus bukanlah buah dari kecerobohan orang yang kurang mengerti diplomasi dan buta akan situasi, kematiannya adalah kematian sebagai saksi Kristus. Paulus telah menyaksikan kematian tersebut dengan matanya sendiri, yaitu kematian sang diaken, yang penuh dengan Roh Kudus, yang menggenapkan kehendak Allah, membawa berita Injil Tuhan, mempresentasikan Kristus, menyatakan dengan gamblang identitas gereja, menyenangkan Tuhan diatas segala-galanya. Kematian yang pada waktu itu diiringnya dengan rasa benci yang dalam namun kematian yang dikemudian hari diteladaninya sebagai seorangrasul Kristus yang hidup bagi kemuliaan TUHAN semata.



GOD be praised!!!

Sunday, June 28, 2009

Khotbah Petrus - Pentakosta

Kisah Para Rasul 2

Kita akan melihat khotbah yang dicatat Lukas berkaitan dengan peristiwa Pentakosta untuk kita mendapatkan gambaran yang lebih utuh mengenai peristiwa fenomenal ini. Pertama kita akan lebih terfokus pada khotbah Petrus. Khotbah ini dicatat sebagai bagian yang menjelaskan peristiwa fenomenal tersebut, saya percaya ini merupakan pemeliharaan Allah. Alkitab tidak membiarkan kita berhenti pada pertanyaan-pertanyaan yang akan bergulir liar dengan membiarkan peristiwa fenomenal tersebut tanpa tafsiran. Kita melihat ada beberapa jenis respon terhadap peristiwa besar tersebut. Ada yang tercengang heran, namun ada juga yang mencibir dan mengatakan bahwa mereka sedang mabuk oleh anggur. Ketika berhadapan dengan sebuah peristiwa, kita akan melihat bahwa kita bisa meresponinya dengan sikap yang berbeda. Ada orang yang memang tidak percaya dan memutuskan untuk tidak percaya, namun ada mereka yang memang dikaruniakan Tuhan untuk mencari kebenaran. Disini kita melihat bahwa peristiwa spektakuler ataupun mujizat-mujizat besar tidak menjadi jaminan bagi seseorang untuk bertobat. Ev. Inawati Tedy menyatakan bahwa mujizat-mujizat yang diberikan sering kali tidak membuat manusia bertobat, tidak membuat manusia menjadi beriman. Dan hal tersebut kita lihat konfirmasi secara jelas dalam bagian ini, setelah khotbah Petrus, kita melihat bahwa banyak diantara mereka yang menjadi percaya, kalimat itu (bahwa banyak yang menjadi percaya pada ay 41) muncul bukan setelah mujizat besar tersebut terjadi melainkan setelah Petrus selesai memberikan khotbahnya. Iman muncul dari pendengaran akan Firman. Iman yang tidak didasarkan pada Firman adalah iman yang salah. Apa yang kita imani, apa yang menjadi dasar iman kita??? Namun yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, apakah yang dimaksudkan bahwa iman kita berdasarkan Firman. Apakah kita pikir bahwa bila dalam otak kita ada beberapa proposisi ortodoks atau seperangkat kalimat Kristen seperti :”Yesus Kristus satu-satunya Juruselamat; Tuhan Yesus mati disalib dan dibangkitkan” dsb. itu berarti kita sudah beriman sesuai dengan Firman??? Ketika ada rangkaian kalimat dalam kepala kita apakah itu berarti bahwa kita sudah beriman berdasarkan Firman tersebut??? Saya percaya tidak, apa yang terjadi dalam orang-orang yang menerima khotbah Petrus bukanlah demikian.

Kembali kepada peristiwa besar yang tadi. Kita mungkin banyak mendengar mengenai peristiwa Pentakosta selalu dihubungkan dengan lidah-lidah api yang menyala, bahasa-bahsa lidah (bahasa-bahasa) sebagai hal yang menyertai peristiwa Pentakosta. Namun Alkitab tidak berhenti hanya sampai disana, peristiwa itu dilanjutkan dengan perwartaan berita mengenai Kristus. Disini kita melihat bahwa peristiwa turunnya Roh Kudus berkaitan langsung dengan direbut kembalinya penafsiran kitab suci yang benar. Ada ortodoksi yang dipulihkan, ada pewartaan Firman yang benar. Mujizat besar yang terjadi di sini adalah untuk memberikan konfirmarsi terhadap berita Injil yang selanjutnya diberitakan. Peristiwa tersebut mengkonfirmasi Firman, bukan sebaliknya Firman berfokus kepada peristiwa besar. Dalam zaman kita ini sering terjadi keanehan yang luar biasa besar, yaitu bahwa Pentakosta lebih sering dikaitkan dengan lidah api, sementara khotbah dan Firman yang muncul dari mulut Petrus yang menjelaskan peristiwa itu justru disingkirkan. Ini sangat aneh namun tidak mengherankan. Kita memang hidup dalam zaman yang menggandrungi hal-hal yang spektakuler dan yang tidak biasa, dari iklan, model rambut, gaya berpakaian, group-group band, semuanya aneh, dan tidak heran di dalam gereja pun gejala keanehan juga sangat digemari. Pendeta memakai anting, khotbah yang aneh, pola kesembuhan yang aneh, tertawa, jatuh, bergetar-getar, kejang bahkan bersuara-suara seperti binatang, hal-hal aneh tersebut kita jumpai bahkan dalam gereja.

Khotbah Petrus dimulai dengan mengutip kitab nabi Yoel mengenai anak-anak yang bernubuat menjelang datangnya hari akhir. Hal ini lebih mengarah kepada masa Mesianis, masa yang menandai datangnya Perjanjian Baru, hal ini bisa kita lihat dari apa yang dinyatakan Petrus, yaitu berkaitan dengan Yesus. Yesus orang Nazaret yang telah melakukan banyak mujizat yang menunjukkan bahwa Ia adalah Tuhan, ternyata justru diapakukan oleh mereka. Manusia mengharapkan Mesias seturut dengan harapan manusia, ketika sang Mesias datang, dan itu tidak seturut dengan harapan mereka, maka Ia pun disalibkan. Ini sungguh ironis. Kita bilang bahwa kita merindukan Tuhan, kita ingin mengenal kehendak Dia, namun sesungguhnya kita lebih merindukan si tua berjenggot (sinterklas) ketimbang Mesias (yang dalam gambar sering juga berjenggot). Dalam hal ini kita mirip dengan orang-orang yang menyalibkan Yesus. Waktu berkata aku merindukan Tuhan, aku mengasihi Tuhan, sebenarnya yang kita dambakan hanyalah sinterklas yang akan membuat kaus kaki yang kita gantung menjadi menjadi kantong Doraemon yang bisa mengeluarkan apa saja seturut dengan apa yang kita mau. Karena itu ketika Tuhan datang, dan Ia menyatakan banyak hal yang kita tidak sukai maka kita cenderung untuk memakukan-Nya di atas kayu salib, kita marah kepada Tuhan. Mujizat ditujukan untuk menunjukkan siapa Dia sebenarnya, dan kita tidak suka akan hal tersebut. Kita menyukai mujizat hanya dalam nuansa bila mujizat itu mampu mengeluarkan apa yang kita mau. Ketika kita melihat orang yang kita tidak suka, yang telah melukai hati kita, dan orang tersebut menerima mujizat Tuhan, sehingga memiliki keadaan yang sangat baik, sementara kondisi kita seolah berada dibawah dia, kita justru menjadi gusar, karena mujizat itu bukan ditujukan untuk menyenangkan hati kita. Ini kecelakaan yang besar, kita salah menilai mujizat. Pada masa ini, banyak sekali kekacauan, ketika kita berharap Tuhan melakukan sebuah tindakan ajaib, kita mengharapkan mujizat terjadi, yang menjadi fokus kita bukanlah agar Tuhan semakin memperjelas pandangan kita mengenai siapa Diri-Nya sebenarnya, namun lebih supaya kita mendapatkan apa yang kita mau, dan ketika mujizat datang, dan kita semakin tidak mendapatkan apa yang kita mau, maka kita menjadi kesal. Yunus mendapatkan mujizat Tuhan, pohon jarak atas perkenanan Tuhan tumbuh, dan akhirnya mati, bangsa Asyur yang sangat jahat kepada bangsanya (Israel) menerima mujizat Tuhan (yaitu mereka bertobat), dan hal tersebut adalah mujizat yang mengesalkan hati, karena hal itu tidak mengenakkan dia sebagai bangsa Israel yang sudah sangat kesal kepada orang-orang Asyur. Mari kita ingat, ketika kita dengan berapi-api bercerita mengenai kebesaran Tuhan, kita bercerita mengenai mujizat Tuhan, maka dalam fokus cerita itu sering kali adalah ketika saya taat maka ajaib Tuhan menolong saya, bukan kita semakin mengenal Tuhan, tapi yang jadi fokus adalah bagaimana Dia menolong saya.

Dalam kedegilan hati mereka menyingkirkan Tuhan dengn hasrat yang jahat, namun Yesus tidak dibiarkan untuk terus mati, tidak mungkin hal tersebut terjadi. Yesus dibangkitkan. Sekali lagi kita melihat bahwa Petrus dengan jeli menggambarkan Perjanjian Lama (PL) dalam hal ini Kristus Yesus menggenapkan apa yang ditulis dalam PL. Untuk hal tersebut mereka adalah saksi. Inilah yang menjadi hal utama ketika Dia akan naik ke sorga; bagi Yesus, murid-murid tidak perlu untuk mengetahui saat ataupun waktunya, yang terpenting adalah Roh Kudus akan memberi kuasa untuk menjadi saksi.

Reaksi dari khotbah Pentakosta ini sungguh luar biasa. Merka sangat remuk hati. Mereka bertanya apa yang harus mereka lakukan. Inilah pekerjaan Roh Kudus, yaitu ketika kita dipulihkan, kita menjadi tremble (bergemetar) terhadap berita kematian dan kebangkitan Yesus, yang setiap Minggu telah kita lafalkan dengan latah (Pengakuan Iman Rasuli). Kita harus bertobat, sebab kita sudah menganggap sangat biasa berita besar ini, ini adalah berita klasik Kristen, bukan berita kuno yang bisa kita lafalkan secara sembarangan, Roh Kudus membuat kita bergetar ketika memandang kepada salib Kristus!!! Sebuah lagu American Negro Spiritual oleh JR Johnson, JW Johnson menggambarkan nuansa itu dengan sangat baik. Hadirkah kau waktu Tuhan disalib... oh itu membuatku gentar, gentar, gentar...

Efek khotbah Petrus ini berlanjut dengan kehidupan sehari-hari. Sekali lagi kita sering terjebak pada spektekularisme, dan menganggap biasa hal yang tidak spektakuler. Namun Pentakosta ini tidak berhenti pada kejadian-kejadian besar, melainkan berdampak pada hidup sehari-hari yang bersifat “biasa” . Semestinya hal ini membuat kita sadar akan tiap hal kecil yang adalah pemeliaraan Tuhan. Ketika kita melihat diri kita sedang dipelihara oleh Tuhan, setiap oksigen yang masuk ke paru-paru kita, yang mengalir di dalam darah dan masuk ke otak kita yang membuat kita bisa berpikir dengan baik, setiap butir nasi yang bisa diuraikan menjadi kalori, setiap sesapan susu yang masuk ke dalam tubuh bayi dan membuatnya bertumbuh, semua adalah hal yang biasa dan terjadi setiap hari, namun itu adalah pekerjaan Tuhan yang harus terus membangkitkan sense of awe, mendorong kita untuk terus terpesona pada karya pemeliharaan-Nya. Namun kita terbiasa melihat kontras, kita terbiasa melihat hal yang spektakuler, kita terbiasa melihat “hidup yang lebih hidup”, sehingga hal yang biasa membuat kita susah mensyukuri berkat Tuhan dalam hati kita. Dan kita menganggap hanya peristiwa besar sajalah karya Roh Kudus itu.

Sekarang kita melihat lagi dalam diri kita, ketika tiap tahun merayakan Pentakosta, ingatkah kita bahwa Allah Roh Kudus memberi kuasa dan kita pun menjadi saksi. Bukan sekedar dalam bersaksi secara linguistik (berkhotbah dengan rangkaian kata-kata, ataupun melakukan penginjilan secara verbal), namun dalam seluruh keberadaan diri kita. Calvin menyatakan bahwa dalam Injil itulah kita melihat penyajian Kristus yang benar. Pentakosta adalah hari yang mencatat peristiwa pencurahan Roh Kudus, hari yang mengkonfirmasi jati diri gereja Tuhan, sebagai komunitas yang merangsek ke dalam dunia ini dengan berita Injil dan pada saat yang bersamaan hal itu berarti penyajian Kristus yang sejati. Hal itu terlihat dengan jelas dalam peristiwa sehari-hari yang sangat biasa. Khotbah Petrus pada bagian ini langsung disambung dengan kondisi jemaat, kehidupan sehari-hari mereka. Dan satu hal yang mencengangkan adalah bagaimana Lukas mencatat cara hidup jemaat, dimana mereka bersehati bertekun pada ajaran yang sehat, dan juga dalam praktek hidup yang sehat. Inilah penyertaan Allah Roh Kudus, merombak kehidupan orang untuk hidup seturut dengan apa yang dikehendaki oleh Allah sebagai komunitas umat Tuhan. Semestinya hal itu akan menggelisahkan diri kita, membuat kita berani menantang diri kita untuk melihat kedalam, merenungkan jati diri kita sebagai gereja Tuhan, yang dalam setiap segi hidupnya menjadi message (pesan) Injil, mempresentasikan Kristus, sehingga membuat gemetar dan heran orang-orang yang belum kenal Tuhan. Apakah hal tersebut ada dalam hidup kita, apakah hidup kita sudah menjadi deklarasi, menjadi pesan Injil (dalam kata-kata ataupun segala aspek hidup yang lain) yang mempresentasikan Kristus, sang Benar, sang Suci, sang Penebus, ataukah hidup kita benar-benar serupa dengan orang yang tidak kenal Kristus, dengan dibedakan hanya pada berbagai aktifitas khas agama, yaitu pergi ke gedung gereja setiap hari Minggu dan persekutuan pada hari-hari tertentu saja???

Itulah Pentakosta, ada sebuah perombakan pola pikir, perombakan doktrin, ada penyajian Kristus yang asli, perubahan hidup; itulah yang menyenagkan Tuhan, itulah kedatangan Allah Roh Kudus, menginsyafkan dunia akan dosa, kebenaran dan penghakiman (Yoh 16:8). Yang menjadi fokus bukan pada tindakan spektakuler, melainkan kuasa dinamis dari Allah yang menggerakkan kita untuk membawa berita (message) kemaha rajaan Kristus, sehingga orang pun disentak terhadap berita klasik mengenai kematian dan kebangkitan Yesus. Dan hal tersebut dikonfirmasi dengan tindakan Allah yang terus menambahkan jumlah orang yang bertobat dihadapan-Nya. Fokus dari kedatangan Allah Roh Kudus membawa orang untuk melihat kemuliaan Allah, mengabdi pada-Nya, dan hal tersebut dikonformasi sendiri oleh Tuhan, dengan cara konfirmasi yang berbeda-beda. Dalam Petrus, Tuhan menambahkan jumlah orang, namun kita melihat bahwa dalam khotbah Stefanus yang begitu berfokus kepada Kristus, konfirmasi Tuhan diberikan melalui reaksi negatif orang-orang yang mendengarkan khotbahnya. Allah mengkonfirmasi berita Injil Stefanus melalui setiap batu yang merajam tubuhnya, menghancurkan badannya serta melalui setiap tetesan darah yang mengalir keluar dari tubuhnya. Dan diapun mendapatkan anugerah yang begitu besar, suatu kerinduan orang saleh yang dipuaskan, yaitu melihat sendiri Tuhan Yesus. Bagaimana dengan diri kita??? Adakah kehadiran diri kita benar-benar membawa pesan, membawa berita Injil Tuhan, berita bahwa Yesuslah sang Raja yang telah datang dan akan datang kembali, menyatakan Kerajaan Allah dalam segala kepenuhan-Nya??? Tidak peduli apapun konfirmasi yang diberikan Tuhan, entah itu banyak orang bertobat, entah kita mendapatkan cibiran, atau bahkan bila kita harus menitikkan air mata dan darah, kerinduan kita hanya satu, yaitu melihat Dia disenangkan hingga selama-lamanya. Amin!!!


GOD be praised!!!

Wednesday, June 24, 2009

Seminar: Kerajaan Allah

Program Intensif: Kerajaan Allah - Sekolah Teologi Reformed Injili (STRI) BSD
Ev. Agus Marjanto
27,28,29 Juli 2009
19.30
Kontribusi peserta: Rp.60.000,-
PRII BSD - Ruko Malibu Blok B no. 25 (Sebelah ITC BSD)



Kisah Injil Paulus (kita???)

Galatia 2:1-10


Tidak disangsikan lagi, tema mengenai Injil menjadi warna yang sangat mencolok dalam surat Paulus kepada jemaat di Galatia ini. Kita akan melihat beberapa hal dari bagian surat ini. Paulus telah dengan begitu berani menyatakan identitas kerasulannya dengan otoritas dari Tuhan sendiri, sehingga berita keotentikan yang disertai dengan otoritas Injilnya juga tidak boleh ditinggalkan. Hal tersebut dilakukannya untuk memberikan penekanan sehingga dia mengeluarkan kata kutukan untuk “injil lain”. Kita akan melihat betapa pentingnya Injil tersebut, dan bagaimana Paulus menyusun rangkaian argumen dalam suratnya ini untuk memberikan penegasan pada berita Injil tersebut. Dalam bagian yang kita baca, kita melihat bagaimana Paulus seolah menceritakan hal yang biasa. Apa berbeda dari kisah Paulus ini dengan kisah-kisah yang lain, apa bedanya penuturan ini dengan apa yang dikisahkan dalam Kisah Para Rasul misalnya??? Kita percaya bahwa setiap penulis menyusun suatu kisah untuk membangun sebuah argumen tertentu. Sebuah kisah tidak pernah atau setidaknya sangat jarang yang berhenti hanya pada kisah tersebut sendiri, kisah memiliki makna yang memang dengan sengaja (meski tidak senantiasa disadari) diberikan oleh sang pemberi kisah. Kita lihat bahwa hidup kita dipenuhi dengan kisah, bahkan hidup kita ini adalah kisah. Dalam pembicaraan-pembicaraan kita, sangat sering kita berkisah, entah itu adalah kisah mengenai anak, pacar, suami, teman atau musuh-musuh kita. Waktu kita bercerita bahwa anak kita tadi bertanya jawab dengan gurunya, kita bukan hanya sedang ingin membuat orang lain tahu akan kisah tersebut namun kita (secara sadar atau tidak) sebenarnya ingin menyampaikan sebuah pesan saja, yaitu anakku itu pintar. Cukup mudah mengecek hal tersebut, seandainya orang bereaksi dan menjawab kita dengan penuh perhatian dan kata-kata yang tulus: wah anakmu itu susah menangkap pembicaraan yah sampai-sampai dia perlu untuk terus bertanya, mungkin IQ nya rendah, atau mungkin dia ada kelainan, coba deh periksakan ke dokter, saya kenal seorang dokter anak yang pintar. Kita mungkin akan buru-buru meluruskan “maksud” dari kisah kita: oh bukan begitu, anak saya itu sangat kritis sampai gurunya pun kewalahan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaannya yang sudah sangat tajam untuk anak sebayanya. Kisah tidak netral, kisah memiliki maksud dan tujuan. Hidup kita dibentuk dan membentuk kisah, dalam pembicaraan hidup kita, semuanya diwarnai oleh kisah. Mari kita berhati-hati dengan setiap kisah kita, termasuk kisah-kisah yang kita ucapkan. 10 pengintai memberikan sebuah kisah, kisah yang bukan menipu, kisah yang nyata, kisah mengenai penduduk Kanaan yang begitu besar dan kuat, kisah tersebut memiliki power yang begitu kuat sehingga membawa tawar hati bagi bangsa Israel dan membuat bangsa Israel ditimpa murka Allah yang besar (Bil 13:32), Husai memberikan gambar berwarna dalam kisahnya mengenai Daud yang bagai beruang yang kehilangan anak di padang, kekuatan kisahnya membuat Absalom mempercayainya dan meninggalkan nasihat Ahitofel (2 Sam 17:8), kisah mengenai kepahlawanan Daud oleh Husai bukan sekedar cerita tanpa maksud, namun dia bermaksud untuk menggagalkan nasihat Ahitofel. Dari cerita mengenai anak, mengenai restoran, sekolah, sampai gosip-gosip, kita sedang menceritakan “sesuatu” yang sering kali bukan sekedar rangkaian fakta yang kita ceritakan tersebut. Pemilihan kisah yang kita ceritakan pun sudah memiliki tujuan tertentu; dalam hidup kita ada banyak kejadian, namun kita memilih sebagian kejadian dari banyak kejadian yang kita ingat untuk menyampaikan sesuatu. Kisah memiliki kekuatan yang sangat besar dalam membentuk kehidupan manusia, sebaliknya kisah tersebut juga dibentuk oleh manusia. Perhatikan kisah-kisah yang kita tuturkan baik dalam kata maupun perbuatan kita, hal tersebut mencerminkan diri kita, komunitas kita, serta arah tujuan kita. Dalam keluarga, dalam gereja, dalam masyarakat, kisah apa yang kita kisahkan dan hidupi??? Apakah kisah bahwa uang banyak akan membawa kedamaian, ataukah kisah cinta dan kebesaran Allah??? Apakah kita mengajarkan anak kita untuk belajar giat agar besok menjadi orang sukses yang banyak uang, apakah kita sering ribut di rumah ketika dagang sedang kurang sukses??? apakah kita sering berselisih pandang dan bertengkar karena uang??? Hati-hati dengan kisah hidup kita, sekali lagi kita akan membangun hidup kita, anak-anak kita, komunitas kita dengan rangkaian kisah yang kita ceritakan baik secara verbal (dengan perkataan lisan) ataupun non verbal (dalam tindak tanduk kita).

Paulus menyajikan kisah dalam bagian ini untuk membawa pesan Injilnya. Sekali lagi dinyatakan disini bahwa dia pergi oleh suatu penyataan (2). 14 tahun in banyak dipercayai sebagai rentang waktu dari pertobatannya. Sebuah waktu yang cukup lama, hal in menunjukkan bahwa dia sebenarnya tidak perlu mengkonformasi Injilnya, sebab dia telah mendapatkannya dari Tuhan sendiri. Kita harus jelas untuk membedakan hal dengan fenomena orang-orang yang mengaku pergi naik turun sorga dan membawa sebuah berita yang diakui dari Tuhan Yesus sendiri, sementara pemberitaan yang dibawa sering kali berbenturan dengan Alkitab. Pada zaman Paulus tersebut, kanon Alkitab belum lengkap sementara kita sekarang sudah, ini menjadi pembeda yang sangat signifikan. Pada zaman sekarang Alkitab telah lengkap, dan segala hal yang kita perlu ketahui mengenai Allah dan karya-Nya sudah tertera di dalam Alkitab, jadi kita harus membubuhkan tanda tanya yang besar ketika ada orang mengaku lagi mendapatkan “penyataan dari Allah” terlebih lagi bila beritanya bertabrakan dengan Injil. Selanjutnya kita sekali lagi melihat bahwa Paulus tidak berhenti pada pengukuhan berita Injilnya. Dia menyampaikan bahwa Injilnya adalah benar, berasal dari Tuhan sendiri, namun dia juga siap untuk mengkonfirmasikannya dengan ajaran para rasul yang lain. Paulus pergi ke Yerusalem, sangat mungkin ini bukan kunjungannya ketika diadakan sidang di Yerusalem (Kis 15) sebab dikatakan disini bahwa dia mengadakan percakapan tersendiri. “Mereka yang terpandang”, merujuk pada kredibilitas rasuli orang-orang yang ditemui Paulus dimana dihadapan mereka Paulus memaparkan Injilnya. Hal in menjadi sebuah konfirmasi bagi orang-orang yang meragukan kerasulan Paulus dan berita Injil yang dibawanya. Paulus menambahkan cerita mengenai bagaimana Titus yang adalah orang Yunani tidak perlu disunat. Sekali lagi kita melihat bagaimana Paulus mengambil kisah tersebut untuk memberitakan Injilnya. Paulus tidak memasukkan berita mengenai Timotius yang disunatkan, ini bukan menjadi inkonsistensi dalam diri Paulus namun dia sengaja memasukkan bagian tidak disunatnya Titus untuk menunjukkan bahwa Injil sesungguhnya bukan masalah menjadi Yahudi secara etnis. Menerima Kristus sebagai Mesias bukan berarti harus “menjadi Yahudi” dahulu dengan disunat, hal itu dikatakan Paulus hanya akan memperhambakan kita.

Injil merupakan “kabar baik”, Injil memiliki latar belakang, baik dalam budaya Yahudi maupun Yunani. Orang-orang Yahudi menantikan berita baik, seorang pembebas yang akan membawa kelepasan bagi mereka, sementara dalam latar belakang Yunani Injil berarti berita kemenangan, dimana hal sering dimengerti sebagai kelahiran atau kenaikan seorang penguasa. Dalam kedua budaya ini, kata Injil tetap memiliki nuansa sebagai berita baik. Hingga masa kini Injil juga tetap merupakan kabar yang baik; Injil tidak dikurung hanya berita mengenai nanti kita akan pergi ke sorga, sebuah tempat yang non historis, dan bersifat non materi. Injil adalah berita kemenangan, Injil adalah berita akan datangnya sang penguasa, sang pembebas. Injil berbicara mengenai kelepasan dari satu perbudakan menuju kepada kemerdekaan dibawah penguasa baru. Dengan demikian kata Injil meliputi juga invasi; kemerdekaan bukan berarti bebas tanpa kekangan, pembebasan ini berarti pembebasan dibawah penguasa baru yang telah melepaskan kita dari penguasa yang lama. Injil yang diberitakan menyodorkan kemenangan TUHAN dan penobatan sang raja, yaitu Yesus dimana hal ini berarti juga kekalahan allah-allah asing dan penundukan diri yang sepenuhnya kepada Allah. Namun kemenangan apa yang didapatkan, Raja itu akan membebaskan kita dari apa??? dalam bagian salam surat ini (1:4) Paulus menyatakan bahwa Dia melepaskan kita dari dunia jahat. Melepaskan bukan berarti kita akan dipanggil keluar dari dunia ini, melainkan kita dibebaskan dari tirani kejahatan yang telah lama memperbudak kita. Ini adalah berita baik. Apakah kita sungguh merasakan bahwa ini adalah kabar baik??? Sungguh ironis, kita telah sangat menganggap remeh dosa, kejahatan semakin lama menjadi hal yang semakin biasa, seiring dengan maraknya dosa, kita mulai beradaptasi dengan dosa dan tidak merasa janggal ketika kita berdosa. Karena itu tidak heran bila ita tidak merasakan dorongan yang sangat kuat untuk memberitakan Injil, sebab kita sendiri tidak merasa bahwa kelepasan dari dosa dan kejahatan adalah suatu kabar baik. Jauh lebih mudah mengidentikkan kabar baik (Injil) dengan “sorga” yang di dalmnya penuh dengan kesejukan dan kemudahan ketimbang mengidentikkannya dengan kelepasan dari dosa. Ini satu hal yang sangat mengkhawatirkan. Surat Galatia ini tidak berbicara mengenai “sorga” yang non material dan non historis, sorga yang hanya diisi oleh “jiwa-jiwa”, sorga yang dipenuhi dengan warna putih, plus malaikat yang bermain harpa. Injil berbicara mengenai pembebasan, kelepasan dari tirani kejahatan. Inilah berita baik, dan mari kita sadari natur sukacita dari berita ini. Sering kali ketika memberitakan Injil, kita sudah keder sendiri, ketakutan, mood kita sangat berhati-hati takut menyinggung perasaan dan lain sebagainya. Injil adalah berita baik, berita sukacita. Sukacita seperti ini mestinya bisa kita beritakan dengan gairah yang lebih besar dari pada seorang anak kecil yang dengan sangat ceria bercerita mengenai mainan barunya. Tentu ada sifat konfrontasi dari Injil ini, namun Injil tetaplah berita sukacita.

Paulus menceritakan bahwa berita Injilnya sejalan dengan pengajaran rasuli, yaitu mereka yang terpandang itu. Paulus menambahkan kembali bahwa dia tidak memandang “keterpandangan” para rasul yang lain sebagai kredit yang besar kecuali panggilan Tuhan sendiri. Ini menjadi kekuatan yang sangat besar dalam pelayanan, yaitu ketika kita tahu bahwa Allah yang memiliki pekerjaan, dan Allah yang mengutus. Paulus menyadari panggilannya untuk memberitakan Injil kepada orang-orang dengan latar belakang non Yahudi (tidak bersunat), seperti halnya Petrus untuk orang-orang bersunat. Ada bagian, ada porsi yang memang telah diberikan Tuhan kepadanya. Ini adalah suatu dasar pelayanan yang sangat penting, setiap kita dipercayakan bagian tertentu oleh Tuhan, tugas kita adalah dengan setia menjalankannya. Mereka, yaitu Yakobus, Kefas, dan Yohanes berjabat tangan dengan Paulus sebagai tanda persekutuan. Mereka bekerja untuk Tuhan yang sama, untuk tugas yang telah dipercayakan masing-masing bagiannya oleh Tuhan. Mereka sama sekali tidak beroposisi dengan Paulus mengenai berita Injilnya, mereka mengingatkan Paulus untuk memperhatikan orang-orang miskin, sebuah hal yang Paulus pun sudah berkomitmen untuk melakukannya. Sangat menarik bahwa dalam pertemuan yang tersendiri (2), ketika Paulus memberikan pertanggung jawaban Injil, sebuah berita yang begitu penting - yang membuatnya berani mengusung kata kutukan yang begitu tajam (1:8-9), dan tidak sungkan-sungkan memasukkan sebuah kisah perseteruannya dengan Petrus (1:11-14) - ada nasihat untuk memperhatikan orang-orang miskin, dan Pauluspun memasukkan hal ini di dalam bagian suratnya ini. Hal ini terlihat seolah sebagai satu hal yang sangat minor dan kurang terlalu perlu dalam rangka untuk mengokohkan berita Injil, namun Paulus menuliskannya bagi pembaca Galatia. Pelayanan gereja, berbicara mengenai kemurnian Injil, tidak pernah terlepas dengan kehidupan sehari-hari. Injil bukan sekedar “nanti” pergi ke sorga, Injil adalah mengenai dominasi Allah yang dinyatakan, dan pada saat yang bersamaan pengguguran allah-allah asing yang disembah secara tidak sah, dan hal tersebut meliputi segala hal hingga elemen sehari-hari, elemen yang terkecil dalam hidup kita. Inilah kisah yang dituturkan oleh Paulus, yaitu betapa dia berpadanan dengan berita rasuli (nanti kita akan melihat bagaimana dia berkonfrontasi dengan Petrus, salah satu orang yang dikatakan terpandang), dan kisah tersebut dituturkannya untuk menjaga iman yang benar, untuk kemurnian berita sukacita yang diembannya.

Setiap kita dibentuk dan membentuk kisah. Dan setiap kita sudah diberikan peran yang jelas, setiap kita menyandang nama Kristus, sebagai Kristen, dan setiap kita dipangil untuk membawakan berita tersebut. Berita yang berisi seruan bahwa Kristus sudah datang, masa penjajahan telah usai. Kristus bukan nama keluarga atau nama alias dari Yesus, namun Kristus sudah dinantikan sebagai sang Pembebas. Kepenguasaan Yesus sebagai Kristus yang sudah datang, invasi dan dominasi-Nya harus diproklamirkan. Paulus dipanggil untuk memberitakannya kepada orang-orang tak bersunat, Petrus untuk orang-orang bersunat, mereka melakukannya dengan memberitakan Injil di tempat-tempat ibadah orang Yahudi, di tempat-tempat yang lain dengan jalan berkhotbah, berdebat dan lain sebagainya. Kita dipanggil untuk memberitakan berita yang sama, kepada zaman dan orang-orang yang berbeda, dengan cara yang mungkin sama dan mungkin berbeda, mungkin dengan berkhotbah, berdialog, bekerja, namun biarlah kisah kita nyata dibaca orang. Sebuah kisah berbahagia mengenai kebebasan yang sejati dari belenggu kejahatan, sebuah kebebasan dibawah perintah Yesus sang Kristus. Ini adalah kisah suka, biarlah kita beritakan kesukaan besar ini dengan gairah cinta Tuhan sang Pembebas kita.


GOD be praised!!!