Monday, June 29, 2009

Khotbah Stefanus

Kisah Para Rasul 7 menjadi semacam trailer yang begitu indah dari karya penebusan Tuhan Allah. Disini kita melihat Stefanus sebagai orang yang sangat disertai oleh Tuhan, sehingga khotbahnya begitu jitu dalam memberikan highlight terhadap peristiwa-peristiwa dalam Perjanjian Lama sampai penggenapan-Nya pada Kristus Yesus. Sebelum khotbahnya, dicatat hal yang menarik mengenai Stefanus, yaitu bahwa dia adalah orang yang penuh dengan Roh Kudus, dan dikonfirmasi dengan berbagai tanda dan mujizat. Lukas (banyak dipercaya sebagai penulis Kisah Para Rasul) bahkan mencatat bahwa orang-orang melihatnya seperti malaikat. Namun hal tersebut tidak membuat mereka percaya kepadanya, bahkan sebaliknya mereka bahkan menghasut banyak orang untuk menyerahkan Stefanus ke hadapan Mahkamah agama dan disanalah Stefanus dituduh telah melakukan penghinaan terhadap bait suci, hukum Taurat serta adat istiadat orang Yahudi. Sebuah trik memalukan dari orang-orang yang menjunjung tinggi agama, namun juga sebuah kesempatan pelayanan yang begitu berharga ketika kondisi tersebut justru memberi Stefanus ruang untuk menyampaikan khotbah fenomenal, sebuah khotbah yang benar-benar mewartakan Kristus dengan begitu jelas, sebuah khotbah oleh seorang diaken yang dicatat dalam Alkitab dan akan terus menerus dibaca orang. Sebuah peristiwa mungkin memaparkan dengan begitu jelas kemiskinan manusia akan segala hal yang baik, dan peristiwa yang sama bisa juga menjadi sebuah kesempatan emas dalam mempresentasikan kesucian yang menyenangkan TUHAN. Mengapa mereka yang telah melihat Stefanus seperti malaikat tidak menjadi takut dan bertobat??? Hal tersebut telah menunjukkan bahwa mereka sama sekali bukan sedang mencari Tuhan namun mencari kepentingan pribadi. Gairah yang besar dalam menaati Tuhan sudah sangat dipengaruhi oleh kepentingan politis manusia, setiap kita memiliki agenda-agenda tertentu dan kita berharap tidak siapa pun juga mengusik, dan tidak juga Tuhan. Pdt. Rudie Gunawan 2 minggu lalu berkhotbah bahwa di tempat pengadilan sering terdapat ketidak adilan. Di hadapan mahkamah agama mereka memberikan tuduhan palsu, mengingatkan kita akan apa yang terjadi pada Tuhan Yesus, Dia dijatuhi hukuman akan tuduhan palsu. Tuduhan yang dialamatkan secara sembarangan kepada Stefanus merupakan tuduhan yang begitu berat. Berkaitan dengan jantung religi mereka, yaitu mengenai bait suci dan taurat. Tentu orang-orang Yahudi masih mengingat pahitnya pembuangan di Babel, serta perihnya hati mereka ketika Bait Suci yang dibangun Salomo, kebanggaan religi dan identitas bangsa mereka harus luluh lantak. Demikianlah tuduhan bahwa Stefanus memberitakan bahwa Yesus akan merubuhkan bait suci tersebut merupakan suatu tuduhan yang begitu berat, yang membangkitkan kembali luka yang masih belum sembuh dari bangsa Yahudi.

Stefanus memulai khotbahnya dengan memaparkan tidakan Allah terhadap Abraham dan bagaiana keturunannya kemudian. Bagaimana bangsa itu kemudian diperbudak oleh Mesir. Dan dengan tangan yang teracung Tuhan menuntun umat-Nya keluar dari Mesir; namun selanjutnya umat Tuhan justru berdosa dan menyembah berhala. Perjalanan hidup kita seringkali mencatat kegagalan kita berbakti kepada Tuhan, sebuah ironi besar yang harus disetujui oleh mahkamah agama, karena dalam poin ini dia belum bertentangan dengan Stefanus, sebuah berita yang semestinya membawa manusia melihat kedalam dirinya, dengan segala kebangkrutannya yang seharusnya membawanya kepada penyesalan dan permohonan belas kasihan. Namun sungguh ironis, ketika Stefanus menyatakan dan mereka telah mendengar berita tersebut, mereka menolaknya. Sekali lagi kita melihat bahwa mereka sama sekali tidak menginginkan Firman yang mereka mau dengar hanyalah apa yang mereka mau dengar. Sedikitpun mereka tidak dapat membantah pun berdalih, namun hal tersebut semakin membuat mereka marah. Ketika kebenaran datang dan menelanjangi segala keboborakan diri, alih-alih bertobat mereka justru marah dan membunuh Stefanus. Manusia tidak mengharapkan kebesaran Tuhan dinyatakan, manusia hanya berharap sesuatu yang baik menurut definisi sendiri datang. Seberapa sering ketika anugerah Tuhan datang kepada kita dengan dinyatakannya kesalahan kita, kita justru menjadi marah besar. Bangsa Israel merupakan bangsa yang mengecap berkat Tuhan yang luar biasa besar; TUHAN, Allah semesta alam berkenan untuk menjadi Allah mereka. Namun ironis, ketika Allah menyatakan diri kepada manusia melalui para nabi (Ibr 1:2) yang menegur, menyatakan kesalahan, menyerukan pertobatan, para nabi tadi justru banyak yang disiksa bahkan dibunuh. Yohanes pembaptis yang menjadi nabi pertama setelah masa intertestamental pun mengalami nasib yang serupa; kepalanya diletakkan diatas talam, terpisah dari tubuhnya, karena berita kebenaran yang disampaikannya tidak disukai oleh manusia. Puncaknya adalah Kristus Yesus, sang Allah sendiri yang datang dan mewartakan Injil juga dibunuh. Raja Asa menjadi cerminan yang sangat nyata dalam hidup kita. Alkitab mencatat Asa sebagai orang yang benar (2 Taw 14:2; 1 Raj 15:11), namun ketika dia melakukan kesalahan dan TUHAN menegurnya melalui Hanani, dia menjadi sakit hati dan memasukkannya ke dalam penjara (2 Taw 16). Kita harus senantiasa sadar, orang benar tidak imun terhadap gangguan dan kejatuhan. Sering kali reaksi awal ketika teguran TUHAN datang kepada kita, reaksi kita adalah ketidak senangan, kita ingin menutup mulut TUHAN agar Dia tidak ribut. Sebuah kecelakaan yang sering, namun jarang kita sadari.

Sangat tertusuk hati mereka (ay 54). Itulah reaksi mereka ketika berita Stefanus dikumandangkan. Berita Injil yang diberitakan dengan benar akan menelanjangi segala kebobrokan kita. Membongkar segala kepalsuan, terutama di dalam memanipulasi Tuhan. Kita harus bertanya bila keberadaan diri kita tidak pernah “mengusik dunia”, baik itu sesama atau lingkungan kita. Bila kita membawa berita Injil dalam seluruh hidup kita, maka orang berdosa akan terusik, mereka mungkin bertobat, dan sebaliknya mungkin juga mereka akan tidak nyaman dengan keberadaan kita. Celakanya banyak orang Kristen saat ini yang sama sekali tidak berbeda dengan dunia berdosa, identitas kita sebagai Kristen hampir tidak dapat dikenali selain kita pergi ke gedung gereja tiap hari Minggu. Kita harus berani menantang diri kita, apakah kita benar-benar telah mengusung jati diri kita yang asli sebagai gereja yang senantiasa membawa berita Injil dalam keseluruhan hidup kita, baik dalam pikiran, perkataan ataupun perbuatan.

Stefanus menikmati satu bahagia puncak ketika Dia diperkenankan untuk melihat Tuhan Yesus berdiri di sebelah kanan Allah Bapa, satu hal yang dirindu-rindukan oleh orang-orang saleh (adakah kita mendambakan Allah???). Kerinduan terhadap Allah inilah yang mendorong Musa untuk berdoa supaya diperkenankan untuk melihat kemuliaan Tuhan (Kel 33:18). Betapa bahagianya Stefanus yang dalam masa hidupnya di bumi sudah diperkenankan untuk melihat sendiri Kristus Yesus yang telah dibangkitkan dan naik ke sorga. Dalam khotbah Petrus kita melihat kuasa Allah Roh Kudus yang begitu besar di dalam memulihkan kondisi orang Kristen yang mengingat kembali karya Kristus dalam kematian-Nya diatas kayu salib serta kebangkitan-Nya yang ajaib, dari sana banyak orang yang bertobat. Sekarang kita melihat karya dari Alah Roh Kudus yang sama, yaitu bekerja secara luar biasa dalam khotbah Stefanus. Namun hasil yang diraih seolah sangat berbeda. Ketika Petrus berkhotbah, ada 3000 orang yang bertobat, namun ketika Stefanus berkhotbah, dia mendapatkan kegeraman yang memuncak dengan diiringi lemparan batu yang menghancurkan badannya sampai dia mati. Sesungguhnya hasil dari kedua khotbah tadi (khotbah Petrus dan khotbah Stefanus) adalah sama, yaitu nama Tuhan dipermuliakan, Dia disenangkan. Inilah yang semestinya menjadi segenap cita-cita kita, yaitu dalam seluruh hidup kita, kita membawa Injil Tuhan, dan Diapun disenangkan melalui kesetiaan kita.

Para saksi meletakkan jubah Stefanus di depan Saulus, dan pada 8:1a kita melihat bahwa Saulus juga Stefanus mati dibunuh. Saulus yang dinyatakan sebagai seorang muda, telah menjadi saksi sebuah pembunuhan yang begitu kejam. Kekejaman yang dilegitimasi oleh semangatnya dalam membela agama (yang salah). Namun di sisi yang lain, kita melihat bahwa Paulus pun nantinya menjadi seorang yang begitu kukuh dalam memperjuangkan iman dan diapun beroleh kehormatan untuk mati sebagai martir, sebagai saksi Kristus. Kematian Stefanus bukanlah buah dari kecerobohan orang yang kurang mengerti diplomasi dan buta akan situasi, kematiannya adalah kematian sebagai saksi Kristus. Paulus telah menyaksikan kematian tersebut dengan matanya sendiri, yaitu kematian sang diaken, yang penuh dengan Roh Kudus, yang menggenapkan kehendak Allah, membawa berita Injil Tuhan, mempresentasikan Kristus, menyatakan dengan gamblang identitas gereja, menyenangkan Tuhan diatas segala-galanya. Kematian yang pada waktu itu diiringnya dengan rasa benci yang dalam namun kematian yang dikemudian hari diteladaninya sebagai seorangrasul Kristus yang hidup bagi kemuliaan TUHAN semata.



GOD be praised!!!

No comments:

Post a Comment